Tuesday, May 27, 2008

Scarlet - the industrial psychology - inovasi baru dalam marketing

Hari ini saya melihat sebuah iklan dari sebuah perusahaan besar di Korea Selatan, LG. Mereka baru saja meluncurkan sebuah produk, Scarlet TV dengan cara yang sangat tidak biasa, tetapi membuat gebrakan baru dalam dunia marketing dan memberi efek yang sangat besar bagi penyebaran informasi kepada semua konsumen.

Scarlet, sebuah produk TV flat dengan memunculkan sebuah serial TV singkat yang dibintangi oleh Natassia Malthe (seorang berdarah Norwegia Malaysia) dalam sebuah triller yang juga di-release oleh youtube mengundang perhatian banyak kalangan konsumen yang tertarik pada hal-hal baru. Dengan menghabiskan $100 juta untuk global pemasaran dan periklanannya, ternyata hal itu menimbulkan pro dan kontra akibat keingin-tahuan para konsumen yang begitu besar. Alhasil, banyak orang menunjukkan tingkat emosi yang cukup besar ketika mengetahui bahwa "Scarlet is not a new TV series, but is a new series of TVs".

62 detik klip yang menunjukkan bahwa Scarlet menghadiri acara karpet merah (acara tahunan ternama bagi bintang-bintang), Fashion Week di New York, acara Bafta (setara dengan Oscar) di London membuat terpanga banyak orang mengenai serial baru ini. Bahkan imdb.com mencatat serial baru ini sebagai hit baru dalam dunia pertelevisian.

Sebuah hal yang menarik dikeluarkan oleh LG. "To win the game, we had to change the rules", begitulah yang disampaikan oleh Lee Kwan-Sup, vice president dari LG Electronics Digital Display Global Brand Marketing Team. " Kita harus berpikir dan bertindak secara berbeda dalam segala hal yang kita lakukan untuk mengubah persepsi tentang merek LG. Menjadi berbeda memiliki resiko tersendiri, tetapi kami mengambil resiko tersebut untuk membuat terobosan baru" tuturnya.

TV yang diakui sebagai TV teramping sedunia (dengan tebal 1.7 inches - 45mm) - sebuah desain unik yang diidentikan dengan pertemuan dengan seseorang - a beauty with a brain. Hal inilah yang yang memunculkan inspirasi kreatif untuk pemasaran yang belum pernah dilakukan oleh LG atau bahkan industri serupa lainnya.

Kemampuan untuk berubah dan tampil berbeda.. itulah yang sedang ditunjukkan oleh LG.
www.lge.com/about/press_release

Zaman Pemaknaan

Zaman Pemaknaan

*Dunia di Era Komputer *

Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis kita. Begitu kira-kira pesan Daniel Pink dalam buku terbarunya A Whole New Mind (2005). Pesannya belum selesai. Pink melanjutkan, yang benar-benar penting bagimanusia adalah pemaknaan; bagaimana membuat makna.

Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh komputer. Selain itu, keindahan, empati, dan keceriaan juga merupakan ciri- ciri manusiawi yang tak dimiliki komputer; kualitas-kualitas yang memungkinkan manusia melakukan berbagai inovasi dan menghindarkannya dari komoditisasi menjadi saingan mesin-mesin.

Kualitas-kualitas itu pula yang memungkinkan orang mampu membuat konsep, representasi benda-benda di pikiran manusia; baik benda konkret maupun abstrak, benda nyata maupun imajiner. Manusia mampu membuat representasi kognitif dari berbagai hal yang belum ada dalam kenyataan, mampu membayangkan masa depan.

Ini mengingatkan saya kepada Ernst Cassirer (1944) dalam An Essay on Man. Manusia adalah makhluk simbolik, kemampuannya mencipta dan mengolah lambang menjadikannya unggul dari organisme lain, menjadikannya makhluk beradab dan berbudaya. Kemampuan simbolik itu yang memungkinkan manusia mampu membuatkonsep, menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, menyusunnya menjadi cerita; rangkaian peristiwa yang dimaknai berdasarkan urutan kejadiannya.

Sekarang, kata Pink, adalah zaman konseptual. Kemampuan membuat konsep merupakan kelebihan manusia yang tak tergantikan oleh apa pun. Komputer mampu melakukan empat miliar perhitungan setiap detik tanpa merasa lelah atau jenuh. Bagaimana kita menyainginya? Perlukah kita bersaing dengan komputer?

Jawaban Pink: tidak perlu! Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis dan klerikal serta pekerjaan rutin lainnya. Urusan manusia adalah membuat konsep; memaknai berbagai hal yang ada di sekelilingnya; membuat makna-makna baru; membuat dunia lebih indah, hangat dan ceria. Menjadikan dunia sebagai tempat yang manusiawi.

Belahan (hemisphere) kanan otak manusia diduga merupakan sumber dari kualitas-kualitas manusiawi itu. Tentu saja belahan ini berfungsi secara integratif dengan bagian-bagian lain sistem syaraf manusia. Fungsi kreatif dan relasional be-'ranah' di belahan otak ini. Kreativitas memberi daya untuk menemukan hal-hal baru yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Fungsi relasional menghasilkan kemampuan membina hubungan interpersonal,membentuk kebersamaan intersubyektif yang meleluasakan kehidupan bersama bagi subyek-subyek anggotanya. Kreativitas didasari oleh kemampuan membayangkan sesuatu yang belum ada atau dengan kata lain membuat konsep-konsep baru, serta membayangkan sesuatu yang lebih baik, lebih indah, daripada yang ada sekarang.

Kemampuan membuat konsep yang didasari oleh kemampuan memberi dan mencipta makna, juga kemampuan menikmati keindahan, empati, serta memandang dunia seisinya sebagai hal yang menyenangkan, tampil jelas dalam penceritaan(storytelling) . Kemampuan manusia membuat cerita, lalu menyampaikannya, juga mengambil pelajaran dari sana, merupakan implikasi dari kemampuan manusia membuat konsep, menghayati keindahan, empati, dan keceriaan.

Cerita, sesuatu yang kita akrabi sejak kecil, mengandung konsep-konsep yang terangkai sedemikian rupa menjadi jalinan makna yang menggugah dan menyenangkan. Cerita yang menarik memanfaatkan kualitas-kualitas manusiawi itu.

*Zaman konseptual*

Menamakan zaman kini sebagai zaman konseptual berarti memahaminya sebagai zaman penceritaan. Ini tidak berlebihan jika kita cermati apa yang ditunjukkan oleh Deirdre McCloskey dan Arjo Klamer (1995) dalam esei mereka"One Quarter of GDP is Persuasion (in Rhetoric and Economic Behavior)" yang dimuat dalam American Economic Review. Di sana dinyatakan, 28 persen dariGNP di Amerika Serikat diperoleh dari persuasi yang kebanyakan isinya adalahpenyampaian cerita. Lewat penceritaan, orang-orang di sana melakukan aktivitas senilai 1,8 triliun dollar AS, jumlah yang sama sekali tidak sedikit.

Laurence Prusak dalam buku Storytelling in Organizations (ditulis bersama oleh Brown, Denning, Groh, & Prusak, 2005) menjelaskan apa yang membuat para CEO dibayar mahal: mereka bercerita. Dikutipnya Jack Welch, mantan CEO perusahaan multinasional General Electric yang semasa mahasiswa nilainya rata-rata C+. Welch menjadi CEO asal Irlandia yang sukses dan ternama karena kemampuannya bercerita. Prusak menunjukkan kebenaran ucapan itu. Dengan kemampuan bercerita yang kuat, orang bisa menyampaikan cerita ke WallStreet, bursa efek terbesar di dunia. Di sana, penceritaan itu akan menghasilkan implikasi ekonomi dan finansial yang hebat, punya implikasi praktis yang besar. Intinya, menurut Prusak, cerita punya peran yang besar dalam pengembangan budaya, organisasi, bisnis, ekonomi, dan masyarakat.

Sejalan dengan semua yang saya sebut tadi, Jerome Bruner, ahli psikologi kognitif yang belakangan menjadi tokoh penting dalam psikologi pendidikan dan psikologi budaya, menyatakan bahwa cerita merupakan unsur utama yang membentuk pikiran. Dasar dari pembuatan dan penyampaian cerita adalah fungsi naratif, pemahaman berdasarkan urutan waktu, berorientasi kepada tindakan dan pikiran yang mengarah kepada pengenalan terhadap detail. Dengan mode naratif, pikiran mengambil bentuk cerita dan drama yang menggugah.

Lebih jauh lagi, Bruner (1991) menjelaskan bahwa cerita dan penceritaan sebagai produk budaya merupakan media yang paling berperan dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Dalam risalahnya, "TheNarrative Construction of Reality", Bruner berargumen bahwa struktur pikiran mendapatkan pemahaman realitas melalui perantaraan produk-produk kultural seperti bahasa dan sistem simbolik lainnya. Produk- produk itu tersusun dari naratif yang merupakan produk kultural, sekaligus juga pembentuk kebudayaan.

Kebudayaan terbentuk dan tampil bersama dalam hubungan dialogis-mutualistik di antara individu yang menjadi warganya. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu diberi makna sedemikian rupa dan dirangkai menjadi cerita yangmembentuk kebudayaan dari orang-orang yang mengalaminya.

*Zaman penceritaan*

Paralel dengan kemampuan membuat konsep, kemampuan membuat dan menyampaikan cerita serta mengambil pelajaran dari cerita pun merupakan keunggulan manusia yang tak dimiliki oleh makhluk lain. Jika abad ke-21 disebut sebaga izaman konseptual, maka itu sekaligus juga sebagai zaman penceritaan. Penggunaan cerita dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang ilmiah maupun nonilmiah, menjadi metode dan media penting dalam proses perolehan pengetahuan, lebih jauh lagi dalam peningkatan kesejahteraan hidup manusia.

Penekanan pentingnya naratif dalam hidup manusia bukan sesuatu yang berlawanan dengan sains, melainkan pelengkapan proses perolehan pengetahuan. Sains dengan analisis yang menggunakan inteligensi menghasilkan kemajuan dan memberi kontribusi dalam kehidupan manusia jelas kita perlukan. Naratif dengan dasar pemahaman menyeluruh terhadap realitas menghasilkan kemampuan memahami dan memaknai secara lebih komprehensif, kreatif, dan simpatik, juga diperlukan.

Teori-teori yang didasari berbagai fakta yang ditemukan sains pada akhirnya perlu dirangkai jadi cerita yang dapat dipahami, dimaknai, dan dimanfaatkan dalam keseharian manusia. Untuk merangkainya diperlukan fungsi berpikir naratif. Sains perlu terus berkembang menjalankan perannya meningkatkan kesejahteraan manusia.

Hasil-hasil dari sains dan naratif dapat diterapkan dalam bentuk teknologi yang membantu meringankan beban hidup manusia. Teknologi bukan gantungan mutlak hidup manusia. Hidup manusia seharusnya diperkaya dan diperdalam oleh teknologi, bukan dikacaukan dan dilemahkan.

Komputer sebagai perwujudan teknologi pun demikian. Ia berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah teknis dan rutin, sehingga manusia punya waktu lebih banyak untuk memperkaya dan memperdalam hidupnya. Kembali kepada pesan Pink, biarkan komputer menyelesaikan masalah- masalah teknisdan rutin. Mari kita perkaya hidup dengan pemaknaan yang mendalam, kreatif,hangat, dan riang....

Bagus Takwin*Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia *

Monday, May 26, 2008

Seven Signs of Logistics Fraud

Seven Signs of Logistics Fraud
May 6, 2008 5:28 PM , By Mark Sullivan

What do you do when you receive an anonymous tip alleging that an executive running the transportation department is taking kickbacks?

At first such news can be hard to believe - especially when the department performs well, maintains services in spite of shrinking budgets, and increases savings every year. How could a department show improvement year after year and the executive be defrauding the company at the same time?In just such a case, an investigation revealed that cautionary flags had been flying all along, but the company ignored them because the department continued to perform. No one realized that while budgets and costs werereduced, they had started from seriously overinflated levels. It's easy tocut costs by 5% when you're overpaying by 25%!

Overpayment for services, one of the biggest red flags of all, tells you that the money is there. If it is available, there's a good chance that some people are scheming to get their hands on it. When investigating such redflags, we've found fraud in some cases and incompetence in others.

Every time, however, clients were paying millions of dollars more - usually5% to 25% more - than they should have for services rendered. Companies therefore need to look for the clues that will show if something is notright.

Whether red flags are present or not, however, well-designed internal controls and functional information systems make these frauds difficult toperpetrate. We have yet to see fraud seep into a logistics department where strong controls and processes are present.

Here are some of the warning signs management can watch out for in order to minimize the risk of fraud from within:

Undocumented selection of vendors or service providers

When a single individual selects service providers, then related, controllable, or illicit players can be chosen. A more effective process requires competitive bids, the oversight of a company controller, and the establishment of a cross functional team to select carriers, third-partylogistics providers, or warehouse facilities using predefined criteria.

Rates paid are not in line with the company's standing in the market

Benchmark the rates you pay to service providers. It is difficult for acarrier that earns a fair profit to distribute part of its revenues inkickbacks or illicit payments. Even criminal carriers have to pay their drivers, purchase gas, and provide equipment. One way to a mass a slush fundis to charge slightly above market rates on every transaction, saving these small overcharges to make big payouts.

Payments made outside of the normal account payable system

All payments to a vendor must first be matched to a purchase order and proofof delivery. Progressive companies will calculate freight movement costs, create a purchase order for the planned move, compare invoices, and insure that the delivery took place. Be careful if payments to service providers are: not matched to a unique purchase order or load number; hand delivered; processed outside of thenormal accounts payable system; not accompanied by proof of delivery; paid without an automated calculation of what the charges should be; or approved manually.

Executives with unexplained lifestyle improvements or an extreme debt load

Some of the more common items to look for are luxury cars, trips or vacations with representatives of the supplier, and purchases of realestate.

Business going to related parties

When a manager can choose a service provider with little scrutiny, he can take an ownership interest in a favored carrier. For example, in an instancewhere the logistics manager had sole responsibility for authorizing 100% ofthe moves, matching all of the rates and invoices, and demonstrating that rates paid were market competitive, we learned that he covertly owned partof the sole service provider. This carrier also artificially increased its invoices to the company by using sub-optimal equipment, raising the costsfor our client by 20%.

Unusual payment patterns

Use technology to mine your own data and create exception reports. Whencontrols around payment matching and approvals are weak, service providerswill learn that a company does not notice when they over bill, double bill,ghost bill, or bill for the wrong service. Falsified invoices, however,rarely follow the same patterns as those from honest suppliers.

Any of the following might indicate fraudulent activity: a dramatic increase in payments to one vendor; a high number of transactions under audit thresholds; consecutive invoice numbers or multiple invoices on the sameday; or payments highlighted by exceptions to Benford's law, which statesthat numbers that occur naturally in business follow some basic patterns.Perpetrators of fraud rarely have the knowledge or capability to fake these.

Complaints or tips

While logistics managers or executives may wield the power to navigate weak controls to perpetrate fraud, they have a harder time fooling those working closely with them. Eventually, they try to get rid of nonconformers or exclude them from the "in crowd." Paying close attention to the dynamics within a department and the comments or complaints lodged by coworkers canprovide significant clues that things might not be what they seem.

Angsa Itu Mulai Beranak Elang - Kairetsu

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share diperusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering dll.

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan perusahaaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kita terhindar dari import duty yang tinggi sehingga harga mobil tidakperlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun1960-an-1970- an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak samar-samar. Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama sehubungan dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut. Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi. Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan sub kontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen. Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association) , yang terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota ProsperityAssociation) , yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu. Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimal mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.

Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkaian sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu. Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, maka perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu pensuplai dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.* *

*KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belum lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yangditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang timbul selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang mandiri.Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru,barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan.

Kalau semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta rangkaiannya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

Sumber : Kompas

Tuesday, May 20, 2008

Biaya transportasi barang di Indonesia dinilai mahal

(diambil dari Bisnis Indonesia online, 16 April 2008)
JAKARTA: Transportasi barang di Indonesia belum efisien, terbukti dari tingginya biaya operasional kendaraan yang mencapai US$0,34 per km atau lebih mahal 35% dibandingkan dengan rata-rata Asia sebesar US$0,22 per km.

Hal itu terungkap dalam studi biaya transportasi barang Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan dan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan The Asia Foundation pada Oktober-Desember 2006.

Temuan itu menegaskan kembali posisi industri angkutan barang di Indonesia yang tergolong berbiaya tinggi dan tidak efisien seperti yang dilansir oleh Bank Dunia beberapa waktu lalu.

Arianto A. Patunru, Research Director LPEM FEUI, mengatakan rata-rata biaya operasional kendaraan di Indonesia mencapai Rp3.093 per km atau US$0,34 per km, sedangkan rata-rata Asia hanya US$0,22 per km.

"Selama 2005 sampai sekarang tak banyak perbaikan sehingga biaya logistik di Indonesia 14% dari total biaya produksi," katanya dalam laporan studi itu, kemarin.

Dia menjelaskan temuan itu mengacu studi di enam rute, yakni Bulukumba-Makassar, Pare Pare-Makassar, Palopo-Pare Pare, Mamuju-Pare Pare, Marisa, Gorontalo, Kotamobagu-Manado, Sumbawa-Mataram, Malang-Surabaya, Rautau Parapat-Medan. Studi itu melibatkan 315 pengemudi truk dari 179 perusahaan.

Arianto menyatakan rute Rantau Parapat-Medan menempati posisi paling mahal di Indonesia dengan biaya Rp3,236 per km, sedangkan yang paling rendah di rute Malang-Surabaya sebesar Rp2,823 per km.

Arianto memaparkan besarnya biaya transportasi barang di Indonesia lebih disebabkan oleh banyaknya masalah di jalan. Sedikitnya ada empat masalah utama yang menyebabkan biaya transportasi barang menjadi mahal, yakni kualitas jalan rendah dan topografi sulit, peraturan dan perizinan serta retribusi daerah, jembatan timbang dan kelebihan muatan, serta pungutan keamanan.

Menurut studi itu, masalah perizinan dan retribusi daerah merupakan komponen tertinggi pungutan di jalan, yakni mencapai 46%.

Tindakan nyata

Neil McCulloch, Direktur Program Ekonomi The Asia Foundation, menyatakan pihaknya merekomendasikan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan tindakan nyata untuk menurunkan biaya transportasi barang.

"Pemerintah pusat dan daerah perlu menghentikan berbagai pungutan atau biaya-biaya tambahan di transportasi barang," kata McCulloch.

Untuk beberapa sektor, ungkapnya, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri lebih dari 40% dari total biaya logistik dan biaya angkutan.

Dia merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah agar mengkaji ulang semua regulasi transportasi, baik di tingkat nasional maupun daerah, menghapus retribusi daerah, dan pengembangan kapasitas.

Selain itu, lanjut McCulloch, perlu dilakukan kampanye transparansi, reformasi sistem insentif polisi, penyebarluasan inisiatif Departemen Perhubungan dalam mengurangi toleransi muatan lebih.

Dirjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Iskandar Abubakar menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri untuk mencabut peraturan daerah tentang retribusi.

"Kami berupaya mengumpulkan peraturan daerah yang sebabkan biaya tinggi di angkutan darat agar bisa dihapuskan," kata Iskandar.

Sementara itu, Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polri Kombes Pol Lukito menyatakan pihaknya telah menindak aparat yang melakukan pungutan keamanan dengan memutasi pejabat kepolisian yang membawahi aparat tersebut.

Namun, dia menilai penelitian Asia Foundation dan LPEM FEUI kurang objektif karena pungutan itu tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan atau polisi, tetapi juga oleh instansi lain. (01/09) (hendra.wibawa@bisnis.co.id)