Zaman Pemaknaan
*Dunia di Era Komputer *
Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis kita. Begitu kira-kira pesan Daniel Pink dalam buku terbarunya A Whole New Mind (2005). Pesannya belum selesai. Pink melanjutkan, yang benar-benar penting bagimanusia adalah pemaknaan; bagaimana membuat makna.
Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh komputer. Selain itu, keindahan, empati, dan keceriaan juga merupakan ciri- ciri manusiawi yang tak dimiliki komputer; kualitas-kualitas yang memungkinkan manusia melakukan berbagai inovasi dan menghindarkannya dari komoditisasi menjadi saingan mesin-mesin.
Kualitas-kualitas itu pula yang memungkinkan orang mampu membuat konsep, representasi benda-benda di pikiran manusia; baik benda konkret maupun abstrak, benda nyata maupun imajiner. Manusia mampu membuat representasi kognitif dari berbagai hal yang belum ada dalam kenyataan, mampu membayangkan masa depan.
Ini mengingatkan saya kepada Ernst Cassirer (1944) dalam An Essay on Man. Manusia adalah makhluk simbolik, kemampuannya mencipta dan mengolah lambang menjadikannya unggul dari organisme lain, menjadikannya makhluk beradab dan berbudaya. Kemampuan simbolik itu yang memungkinkan manusia mampu membuatkonsep, menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, menyusunnya menjadi cerita; rangkaian peristiwa yang dimaknai berdasarkan urutan kejadiannya.
Sekarang, kata Pink, adalah zaman konseptual. Kemampuan membuat konsep merupakan kelebihan manusia yang tak tergantikan oleh apa pun. Komputer mampu melakukan empat miliar perhitungan setiap detik tanpa merasa lelah atau jenuh. Bagaimana kita menyainginya? Perlukah kita bersaing dengan komputer?
Jawaban Pink: tidak perlu! Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis dan klerikal serta pekerjaan rutin lainnya. Urusan manusia adalah membuat konsep; memaknai berbagai hal yang ada di sekelilingnya; membuat makna-makna baru; membuat dunia lebih indah, hangat dan ceria. Menjadikan dunia sebagai tempat yang manusiawi.
Belahan (hemisphere) kanan otak manusia diduga merupakan sumber dari kualitas-kualitas manusiawi itu. Tentu saja belahan ini berfungsi secara integratif dengan bagian-bagian lain sistem syaraf manusia. Fungsi kreatif dan relasional be-'ranah' di belahan otak ini. Kreativitas memberi daya untuk menemukan hal-hal baru yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Fungsi relasional menghasilkan kemampuan membina hubungan interpersonal,membentuk kebersamaan intersubyektif yang meleluasakan kehidupan bersama bagi subyek-subyek anggotanya. Kreativitas didasari oleh kemampuan membayangkan sesuatu yang belum ada atau dengan kata lain membuat konsep-konsep baru, serta membayangkan sesuatu yang lebih baik, lebih indah, daripada yang ada sekarang.
Kemampuan membuat konsep yang didasari oleh kemampuan memberi dan mencipta makna, juga kemampuan menikmati keindahan, empati, serta memandang dunia seisinya sebagai hal yang menyenangkan, tampil jelas dalam penceritaan(storytelling) . Kemampuan manusia membuat cerita, lalu menyampaikannya, juga mengambil pelajaran dari sana, merupakan implikasi dari kemampuan manusia membuat konsep, menghayati keindahan, empati, dan keceriaan.
Cerita, sesuatu yang kita akrabi sejak kecil, mengandung konsep-konsep yang terangkai sedemikian rupa menjadi jalinan makna yang menggugah dan menyenangkan. Cerita yang menarik memanfaatkan kualitas-kualitas manusiawi itu.
*Zaman konseptual*
Menamakan zaman kini sebagai zaman konseptual berarti memahaminya sebagai zaman penceritaan. Ini tidak berlebihan jika kita cermati apa yang ditunjukkan oleh Deirdre McCloskey dan Arjo Klamer (1995) dalam esei mereka"One Quarter of GDP is Persuasion (in Rhetoric and Economic Behavior)" yang dimuat dalam American Economic Review. Di sana dinyatakan, 28 persen dariGNP di Amerika Serikat diperoleh dari persuasi yang kebanyakan isinya adalahpenyampaian cerita. Lewat penceritaan, orang-orang di sana melakukan aktivitas senilai 1,8 triliun dollar AS, jumlah yang sama sekali tidak sedikit.
Laurence Prusak dalam buku Storytelling in Organizations (ditulis bersama oleh Brown, Denning, Groh, & Prusak, 2005) menjelaskan apa yang membuat para CEO dibayar mahal: mereka bercerita. Dikutipnya Jack Welch, mantan CEO perusahaan multinasional General Electric yang semasa mahasiswa nilainya rata-rata C+. Welch menjadi CEO asal Irlandia yang sukses dan ternama karena kemampuannya bercerita. Prusak menunjukkan kebenaran ucapan itu. Dengan kemampuan bercerita yang kuat, orang bisa menyampaikan cerita ke WallStreet, bursa efek terbesar di dunia. Di sana, penceritaan itu akan menghasilkan implikasi ekonomi dan finansial yang hebat, punya implikasi praktis yang besar. Intinya, menurut Prusak, cerita punya peran yang besar dalam pengembangan budaya, organisasi, bisnis, ekonomi, dan masyarakat.
Sejalan dengan semua yang saya sebut tadi, Jerome Bruner, ahli psikologi kognitif yang belakangan menjadi tokoh penting dalam psikologi pendidikan dan psikologi budaya, menyatakan bahwa cerita merupakan unsur utama yang membentuk pikiran. Dasar dari pembuatan dan penyampaian cerita adalah fungsi naratif, pemahaman berdasarkan urutan waktu, berorientasi kepada tindakan dan pikiran yang mengarah kepada pengenalan terhadap detail. Dengan mode naratif, pikiran mengambil bentuk cerita dan drama yang menggugah.
Lebih jauh lagi, Bruner (1991) menjelaskan bahwa cerita dan penceritaan sebagai produk budaya merupakan media yang paling berperan dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Dalam risalahnya, "TheNarrative Construction of Reality", Bruner berargumen bahwa struktur pikiran mendapatkan pemahaman realitas melalui perantaraan produk-produk kultural seperti bahasa dan sistem simbolik lainnya. Produk- produk itu tersusun dari naratif yang merupakan produk kultural, sekaligus juga pembentuk kebudayaan.
Kebudayaan terbentuk dan tampil bersama dalam hubungan dialogis-mutualistik di antara individu yang menjadi warganya. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu diberi makna sedemikian rupa dan dirangkai menjadi cerita yangmembentuk kebudayaan dari orang-orang yang mengalaminya.
*Zaman penceritaan*
Paralel dengan kemampuan membuat konsep, kemampuan membuat dan menyampaikan cerita serta mengambil pelajaran dari cerita pun merupakan keunggulan manusia yang tak dimiliki oleh makhluk lain. Jika abad ke-21 disebut sebaga izaman konseptual, maka itu sekaligus juga sebagai zaman penceritaan. Penggunaan cerita dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang ilmiah maupun nonilmiah, menjadi metode dan media penting dalam proses perolehan pengetahuan, lebih jauh lagi dalam peningkatan kesejahteraan hidup manusia.
Penekanan pentingnya naratif dalam hidup manusia bukan sesuatu yang berlawanan dengan sains, melainkan pelengkapan proses perolehan pengetahuan. Sains dengan analisis yang menggunakan inteligensi menghasilkan kemajuan dan memberi kontribusi dalam kehidupan manusia jelas kita perlukan. Naratif dengan dasar pemahaman menyeluruh terhadap realitas menghasilkan kemampuan memahami dan memaknai secara lebih komprehensif, kreatif, dan simpatik, juga diperlukan.
Teori-teori yang didasari berbagai fakta yang ditemukan sains pada akhirnya perlu dirangkai jadi cerita yang dapat dipahami, dimaknai, dan dimanfaatkan dalam keseharian manusia. Untuk merangkainya diperlukan fungsi berpikir naratif. Sains perlu terus berkembang menjalankan perannya meningkatkan kesejahteraan manusia.
Hasil-hasil dari sains dan naratif dapat diterapkan dalam bentuk teknologi yang membantu meringankan beban hidup manusia. Teknologi bukan gantungan mutlak hidup manusia. Hidup manusia seharusnya diperkaya dan diperdalam oleh teknologi, bukan dikacaukan dan dilemahkan.
Komputer sebagai perwujudan teknologi pun demikian. Ia berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah teknis dan rutin, sehingga manusia punya waktu lebih banyak untuk memperkaya dan memperdalam hidupnya. Kembali kepada pesan Pink, biarkan komputer menyelesaikan masalah- masalah teknisdan rutin. Mari kita perkaya hidup dengan pemaknaan yang mendalam, kreatif,hangat, dan riang....
Bagus Takwin*Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia *
Personal Branding
11 years ago
No comments:
Post a Comment