Thursday, July 17, 2008
Dampak pemadaman listrik bergilir di Indonesia (2)
Pemindahan jam kerja sama dengan mengganti hajat hidup orang. Ketika orang melihat hari bekerja efektif = hari Senin - Jumat, otomatis peraturan SKB menteri ini menjadi pemicu antusiasme para buruh untuk mendapatkan upah lembur karena bekerja di hari tambahan (sabtu dan minggu). Hal ini tentunya menjadi kontras dengan pemikiran pengusaha yang lebih melihat dari faktor efisiensi, bukan dari segi penambahan biaya tenaga kerja akibat lembur.
Kompleksitas berikutnya yang masih dalam tahap perdebatan adalah bukanya sektor2 industri pendukung seperti perbankan, dan birokrasi pemerintah seperti bea cukai dan pengurusan perijinan sehubungan dengan logistik. Hal ini tentu akan memicu isu lain, peningkatan potensi gaji tenaga kerja yang sebagai akibat tidak langsung dari aktivitas pemadaman listrik bergilir.
Perlu juga ditambahkan bagaimana industri harus menjadual ulang terhadap kontrak kerja yang telah dibuat di awal tahun, atau awal periode pertengahan tahun 2008. Hal ini akan membuat para pelaku industri berpikir mencari celah yang membuat mereka dapat segera melalui krisis yang tidak menyenangkan ini.
Semoga saja, krisis akibat pemadaman listrik bergilir dapat segera berlalu.
Monday, July 14, 2008
Dampak pemadaman listrik bergilir di Indonesia
Berdasarkan survey literatur, berikut ini list beberapa kerugianakibat pemadaman 8 jam kerja:
1. pabrik spinning (dgn 60 mesin) -- rugi Rp. 900 juta / jam
2. pabrik weaving (dgn 50-100 unit mesin) -- rugi Rp. 315 juta/ jam
3. pabrik garmen (15 line mesin) -- rugi Rp. 270 juta / jam.
4. pabrik es (kapasitas produksi 30-40 ton) -- rugi 300 juta persekali pemadaman.
5. pabrik susu -- rugi Rp. 180,9 juta per pemadaman.
dll. dsb.
Biaya kerugian produksi ini belum lagi ditambah dengan kerusakanmesin atau peningkatan biaya maintenance akibat mendadaknya pemadaman listrik (perubahan jadual pemadaman listrik). Belum lagi penurunan kualitas akibat pemadaman listrik (seperti susu dan es) atau bahkan pabrik pengolahan yang lainnya. Ditambah lagi biaya keterlambatan pengiriman yang telah direncakan akibat penyesuaian jam kerja. (jadi pusing deh.... )
Ini masih beberapa contoh, belum termasuk industri2 lain yang lebih signifikan seperti pengolahan hasil laut yang membutuhkan konsistensi suhu tertentu.
Industri hulu (eksplorasi dan produksi) dan hilir (pemasaran danniaga) merupakan pendongkak perekonomian Indonesia dengan perkiraan lebih dari 75% PDB nasional. Jadi, bisa dibayangkan negara akan mengalami penurunan PDB dari sektor industri riil yang sangat signifikan hanya karena akibat pemadaman listrik bergilir. Dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipastikan akan melorot di tahun 2008 ini. Dan, media sudah menyorot bagaimana sikap investor asing terhadap masalah ini.
SKB menteri sepertinya bukanlah sebuah alternatif yang harus diambil untuk stabilitas pasokan listrik. Tapi, mau bagaimana lagi kalau melihat potensi listrik nasional yang tidak bisa memenuhi permintaan. Semoga permasalahan ini dapat segera diselesaikan oleh pemerintah kita. dan semoga aja PLTU Indramayu, PLTU Rembang, dan PLTU Labuanyang sedang dibangun bisa berjalan sesuai rencana, meski jumlah pasokannya belum tercukupi.
Monday, July 7, 2008
Mana yang lebih baik - Kebijakan atau Efisiensi ? (3)
Kalaupun kebijakan itu akhirnya mengarahkan pada efisiensi industri, sepertinya kebijakan tersebut hanya berupa aturan tertulis yang cenderung mematikan daripada menyelamatkan industri. Tulisan saya sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan tersebut berusaha menyelamatkan posisi negara dalam jangka pendek yang sedang dilanda krisis energi dan bisa memberi keleluasaan pada kesempatan "pemerasan" dalam bentuk yang lain untuk mencapai target industri.
Bisa diyakini bahwa para praktisi industri sedang mencari energi alternatif untuk menyelamatkan industrinya dari pergerakan finansial yang menurun. Namun, kebijakan generalisasi yang mengharuskan para industri mengikuti aturan negara tanpa melihat spesifikasi industri adalah sebuah hal ironis yang perlu disikapi dengan bijaksana. Rumusan efisiensi melalui kebijakan akan berbeda dengan rumusan efisiensi yang dihitung oleh industri masing-masing. Oleh karena itu, ada baiknya definisi efisiensi dikembalikan ke sektor industri masing-masing daripada diatur oleh negara yang masih kesulitan mengklasifikasikan jenis industri di Indonesia.
Efisiensi energi industri masing-masing dapat terlihat dari jumlah pasokan energi nasional yang dikonsumsi oleh industri. Apabila jumlah energi alternatif semakin meningkat dan energi BBM semakin menurun, maka dapat dikatakan efisiensi terjadi. Tetapi, ketika efisiensi dipaksakan dari sebuah aturan yang cenderung "memaksa" tanpa melihat signifikansi efek jangka panjang kebijakan ini, maka hasilnya akan semakin memperburuk kondisi perekonomian bangsa.
Hal ini juga bisa mengarahkan pada merger industri, seperti yang terjadi pada krisis moneter 1997, dimana bank-bank gurem akhirnya dilikuidasi oleh bank besar untuk menyelamatkan moneter nasional. Begitu pula seharusnya yang dilakukan oleh para pelaku industri. Kerjasama dengan industri besar perlu dilakukan agar bisa selamat dari jerat kebijakan yang cenderung monopolistis dan oligarkis. Sepertinya, masih belum ada hal yang bisa membedakan secara jelas antara kebijakan dan efisiensi secara ekonomi nasional di Indonesia.
Friday, July 4, 2008
Mana yang lebih baik - Kebijakan atau Efisiensi ? (2)
Bisa dibayangkan bagaimana sektor industri Cold storage yang memerlukan pasokan listrik 24 jam untuk membuat produknya tetapi dalam mata rantai dingin (cold chain system). Belum lagi industri pertanian, peternakan, perikanan yang memang memerlukan pasokan listrik yang tidak seperti keadaan pabrik manufaktur biasanya. (pabrik manufaktur bisa disesuaikan dengan jumlah shift, tetapi industri yang berhubungan dengan mahluk hidup tentunya berbeda dengan benda mati).
Pantas saja, yang mengecam kebijakan ini justru dari para pengusaha di bidang makanan, terutama perikanan. Negara Indonesia sebagai negara maritim perlu melihat aspek industri bukan hanya dari kacamata industri manufaktur semata. Bahkan, pengaturan shift industri yang memerlukan 24 jam pasti mempertimbangkan faktor efisiensi penggunaan listrik. Dan, ketika pengaturan jam kerja diberlakukan, tentunya kapasitas produksi akan berkurang dan investor perlu menanamkan investasi pada pabrik baru dengan lokasi yang berbeda demi menyelamatkan negara yang sedang krisis energi. Sangat konyol bukan ?
Implikasi negatif dari kebijakan ini bukan hanya pada sisi industrinya saja, tetapi juga berdampak pada buruh sekaligus investasi di Indonesia. Terbukti, harian Bisnis Indonesia online mencatat setidaknya 400 perusahaan Jepang mengancam untuk undur dari Indonesia jikalau pemerintah tidak bisa mengatasi krisis energi. Sungguh ironis bukan ?
Sepertinya, kebijakan ataupun efisiensi tidak bisa dilakukan dalam kasus ini. Pemerintah harus segera mencari solusi bagaimana meningkatkan pasokan listrik nasional untuk meningkatkan perekonomian bangsa, bukan dengan memberi pembatasan tetapi dengan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya yang begitu berlimpah di negara kita. Bagaimana tanggapan para pakar energi ?
Mana yang lebih baik - Kebijakan atau Efisiensi ?
Penerbitan SKB Menteri ini dikaitkan dengan penghematan listrik yang mencapai beban puncak antara jam 17.00 - 22.00. Dan, Departemen Perindustrian, ESDM dan Tenaga Kerja akan merumuskan bagaimana pengaturan jam kerja yang baik.
Tentunya pihak industri punya alasan sendiri di balik penolakan kebijakan yang cukup mengundang kontroversial. Apabila dilihat dari sisi ekonomis pabrik, kebijakan pengaturan jam kerja belum tentu memberi efek positif karena seiring peningkatan harga minyak dunia, maka tarif dasar listrik pun juga akan naik. Dan, seiring dengan itu pula, industri harus berpikir masalah efisiensi.
Pemerintah juga punya alasan tersendiri di balik pembuatan kebijakan untuk pengaturan jam kerja. Tentunya ada sektor industri yang rugi akibat kenaikan minyak dunia, tapi juga ada industri yang tidak terpengaruh harga BBM secara langsung seperti industri jasa. Dan, pihak pemerintah perlu memilah-milah kebijakan agar tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaannya.
Memang benar, pelaksanaan kebijakan selalu identik dengan "pemerasan" terselubung. Di tengah ekonomi yang lagi seret, seharusnya pemerintah bisa lebih arif dalam membuat kebijakan dan memberikan himbauan efisiensi lebih giat. Kebijakan tidak selalu memberi efek positif pada efisiensi dan efektivitas, tetapi semuanya harus berawal dari kemauan dan kebutuhan perusahaan itu sendiri akan pentingnya efisiensi dan efektivitas. Setujukan anda dengan hal ini ?
Thursday, July 3, 2008
Workflow Management System (1)
What is Workflow?
Workflow can be described simply as the movement of documents and tasks through a business process. Workflow can be a sequential progression of work activities or a complex set of processes each taking place concurrently, eventually impacting each other according to a set of rules, routes, and roles.A number of process-modeling techniques are available to define the detailed routing and processing requirements of a typical workflow. An example of one such method is the Decision-chain process model. This technique uses milestones and decision points to map out the process. An other method is the Event-flow process model which depicts the process as a chain of manual and automatic events and allows for the inclusion of considerable detail.
Workflow Management Systems
Workflow Management Systems allow organizations to define and control the various activities associated with a business process. In addition, many management systems also allow a business the opportunity to measure and analyze the execution of the process so that continuous improvements can be made. Such improvements may be short-term (e.g., reallocation of tasks to better balance the workload at any point in time) or long-term (e.g., redefining portions of the workflow process to avoid bottlenecks in the future). Most workflow systems also integrate with other systems used by the organization: document management systems, databases, e-mail, office automation products, Geographic Information Systems, production applications, etc. This integration provides structure to a process which employs a number of otherwise independent systems. It can also provide a method (such as a project folder) for organizing documents from diverse sources.
Typical Features
Listed below are some typical features associated with many Workflow Management Systems. If anyone of you think the list is not complete or some features do not belong to a Workflow Management System, please let me know.
1. Process Definition Tool: A graphical or textual tool for defining the business process. Each activity within the process is associated with a person or a computer application. Rules are created to determine how the activities progress across the workflow and which controls are in place to govern each activity. Some workflow systems allow dynamic changes to the business process by selected people with administrative clearance.
2. Simulation, Prototyping and Piloting: Some systems allow workflow simulation or create prototype and/or pilot versions of a particular workflow so that it can be tried and tested on a limited basis before it goes into production.
Task Initiation & Control: The business process defined above is initiated and the appropriate human and IT resources are scheduled and/or engaged to complete each activity as the process progresses.
3. Rules Based Decision Making: Rules are created for each step to determine how workflow-related data is to be processed, routed, tracked, and controlled. As an example, one rule might generate email notifications when a condition has been met. Another rule might implement conditional routing of documents and tasks based on the content of fields. Still another might invoke a particular application to view data.
4. Document Routing: In simple systems, this might be accomplished by passing a file or folder from one recipient to another (e.g., an email attachment). In more sophisticated systems, it would be accomplished by checking the documents in an out of a central repository. Both systems might allow for redlining of the documents so that each person in the process can add their own comments without affecting the original document.
Invocation of Applications to View and Manipulate Data: Word-processors, spreadsheets, GIS systems, production applications, etc. can be invoked to allow workers to create, update, and view data and documents.
5. Worklists: These allow each worker to quickly identify their current tasks along with such things as due date, goal date, priority, etc. In some systems, anticipated workload can be displayed as well. These systems analyze where jobs are in the workflow and how long each step should take, and then estimate when various tasks will reach an individual’s desk.
6. Task Automation: Computerized tasks can be automatically invoked. This might include such things as letter writing, email notices, or execution of production applications. Task automation often requires customization of the basic workflow product.
7. Event Notification: Staff and/or managers can be notified when certain milestones occur, when workload increases, etc.
8. Distribution (Routing) Lists for Messages/Mail: Distribution lists can be created for sending ad-hoc messages among the staff.
9. Process Monitoring: The system can provide valuable information on current workload, future workload, bottlenecks (current or potential), turn-around time, missed deadlines, etc.
Access to Information over the World Wide Web: Some systems provide Web interfacing modules in order to provide workflow information to remote customers, suppliers, collaborators, or staff.
10. Tracking and Logging of Activities: Information about each step can be logged. This might include such things as start and completion times, person(s) assigned to the task, and key status fields. This information might later be used to analyze the process or to provide evidence that certain tasks were in fact completed.
11. Administration and Security: A number of functions are usually provided to identify the participants and their respective privileges as well as to administer routines associated with any application (e.g., file back-ups, archiving of logs).
I think the list above captures more or less all features which are associated with Workflow Management Systems nowadays. The discussion topic could have relation with Business Process Management System, as the development of Business Process Reengineering in the era 90's. Hope it can give more ideas to your enterprise.
references : An Introduction to Workflow Management System, Center for Technology in Gevernment University at Albany / SUNY