Monday, July 7, 2008

Mana yang lebih baik - Kebijakan atau Efisiensi ? (3)

SKB Menteri tetap digodok dan diusahakan untuk memperkecil dampaknya pada dunia industri. Namun, hal itu sepertinya tidak akan berdampak pada industri besar yang telah memiliki "power plant" sendiri. Sedangkan, industri menengah dan kecil yang menjadi ujung tombak pertumbuhan perekonomian bangsa akan tergerus dengan kebijakan yang kurang memperhatikan efek pasokan listrik pada sentra industri yang membutuhkan kesegaran (seperti daging, susu) dan industri besi atau sintetik fiber yang membutuhkan panas yang berkesinambungan.

Kalaupun kebijakan itu akhirnya mengarahkan pada efisiensi industri, sepertinya kebijakan tersebut hanya berupa aturan tertulis yang cenderung mematikan daripada menyelamatkan industri. Tulisan saya sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan tersebut berusaha menyelamatkan posisi negara dalam jangka pendek yang sedang dilanda krisis energi dan bisa memberi keleluasaan pada kesempatan "pemerasan" dalam bentuk yang lain untuk mencapai target industri.

Bisa diyakini bahwa para praktisi industri sedang mencari energi alternatif untuk menyelamatkan industrinya dari pergerakan finansial yang menurun. Namun, kebijakan generalisasi yang mengharuskan para industri mengikuti aturan negara tanpa melihat spesifikasi industri adalah sebuah hal ironis yang perlu disikapi dengan bijaksana. Rumusan efisiensi melalui kebijakan akan berbeda dengan rumusan efisiensi yang dihitung oleh industri masing-masing. Oleh karena itu, ada baiknya definisi efisiensi dikembalikan ke sektor industri masing-masing daripada diatur oleh negara yang masih kesulitan mengklasifikasikan jenis industri di Indonesia.

Efisiensi energi industri masing-masing dapat terlihat dari jumlah pasokan energi nasional yang dikonsumsi oleh industri. Apabila jumlah energi alternatif semakin meningkat dan energi BBM semakin menurun, maka dapat dikatakan efisiensi terjadi. Tetapi, ketika efisiensi dipaksakan dari sebuah aturan yang cenderung "memaksa" tanpa melihat signifikansi efek jangka panjang kebijakan ini, maka hasilnya akan semakin memperburuk kondisi perekonomian bangsa.

Hal ini juga bisa mengarahkan pada merger industri, seperti yang terjadi pada krisis moneter 1997, dimana bank-bank gurem akhirnya dilikuidasi oleh bank besar untuk menyelamatkan moneter nasional. Begitu pula seharusnya yang dilakukan oleh para pelaku industri. Kerjasama dengan industri besar perlu dilakukan agar bisa selamat dari jerat kebijakan yang cenderung monopolistis dan oligarkis. Sepertinya, masih belum ada hal yang bisa membedakan secara jelas antara kebijakan dan efisiensi secara ekonomi nasional di Indonesia.

No comments: