Tuesday, May 20, 2008

Biaya transportasi barang di Indonesia dinilai mahal

(diambil dari Bisnis Indonesia online, 16 April 2008)
JAKARTA: Transportasi barang di Indonesia belum efisien, terbukti dari tingginya biaya operasional kendaraan yang mencapai US$0,34 per km atau lebih mahal 35% dibandingkan dengan rata-rata Asia sebesar US$0,22 per km.

Hal itu terungkap dalam studi biaya transportasi barang Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan dan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan The Asia Foundation pada Oktober-Desember 2006.

Temuan itu menegaskan kembali posisi industri angkutan barang di Indonesia yang tergolong berbiaya tinggi dan tidak efisien seperti yang dilansir oleh Bank Dunia beberapa waktu lalu.

Arianto A. Patunru, Research Director LPEM FEUI, mengatakan rata-rata biaya operasional kendaraan di Indonesia mencapai Rp3.093 per km atau US$0,34 per km, sedangkan rata-rata Asia hanya US$0,22 per km.

"Selama 2005 sampai sekarang tak banyak perbaikan sehingga biaya logistik di Indonesia 14% dari total biaya produksi," katanya dalam laporan studi itu, kemarin.

Dia menjelaskan temuan itu mengacu studi di enam rute, yakni Bulukumba-Makassar, Pare Pare-Makassar, Palopo-Pare Pare, Mamuju-Pare Pare, Marisa, Gorontalo, Kotamobagu-Manado, Sumbawa-Mataram, Malang-Surabaya, Rautau Parapat-Medan. Studi itu melibatkan 315 pengemudi truk dari 179 perusahaan.

Arianto menyatakan rute Rantau Parapat-Medan menempati posisi paling mahal di Indonesia dengan biaya Rp3,236 per km, sedangkan yang paling rendah di rute Malang-Surabaya sebesar Rp2,823 per km.

Arianto memaparkan besarnya biaya transportasi barang di Indonesia lebih disebabkan oleh banyaknya masalah di jalan. Sedikitnya ada empat masalah utama yang menyebabkan biaya transportasi barang menjadi mahal, yakni kualitas jalan rendah dan topografi sulit, peraturan dan perizinan serta retribusi daerah, jembatan timbang dan kelebihan muatan, serta pungutan keamanan.

Menurut studi itu, masalah perizinan dan retribusi daerah merupakan komponen tertinggi pungutan di jalan, yakni mencapai 46%.

Tindakan nyata

Neil McCulloch, Direktur Program Ekonomi The Asia Foundation, menyatakan pihaknya merekomendasikan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan tindakan nyata untuk menurunkan biaya transportasi barang.

"Pemerintah pusat dan daerah perlu menghentikan berbagai pungutan atau biaya-biaya tambahan di transportasi barang," kata McCulloch.

Untuk beberapa sektor, ungkapnya, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri lebih dari 40% dari total biaya logistik dan biaya angkutan.

Dia merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah agar mengkaji ulang semua regulasi transportasi, baik di tingkat nasional maupun daerah, menghapus retribusi daerah, dan pengembangan kapasitas.

Selain itu, lanjut McCulloch, perlu dilakukan kampanye transparansi, reformasi sistem insentif polisi, penyebarluasan inisiatif Departemen Perhubungan dalam mengurangi toleransi muatan lebih.

Dirjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Iskandar Abubakar menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri untuk mencabut peraturan daerah tentang retribusi.

"Kami berupaya mengumpulkan peraturan daerah yang sebabkan biaya tinggi di angkutan darat agar bisa dihapuskan," kata Iskandar.

Sementara itu, Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polri Kombes Pol Lukito menyatakan pihaknya telah menindak aparat yang melakukan pungutan keamanan dengan memutasi pejabat kepolisian yang membawahi aparat tersebut.

Namun, dia menilai penelitian Asia Foundation dan LPEM FEUI kurang objektif karena pungutan itu tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan atau polisi, tetapi juga oleh instansi lain. (01/09) (hendra.wibawa@bisnis.co.id)

No comments: