Showing posts with label Industrial Management. Show all posts
Showing posts with label Industrial Management. Show all posts

Thursday, July 2, 2009

Mindset ERGONOMI (2)

Melihat tentang Ergonomi yang tertulis di artikel sebelumnya, saya melihat bahwa perihal ergonomic bisa menjadi sebuah keilmuan teknik (engineering) yang bagus untuk negara yang "PADAT KARYA". Kenapa ?

Semua perihal ergonomi dikategorikan berdasarkan tingkah laku dan kebiasaan manusia dalam bekerja. Dan, mulai pada saat revolusi industri, dunia sedikit demi sedikit bergeser kepada dunia otomasi (mesin, robotik, dll.). Alhasil, peran manusia akan semakin didominasi oleh knowledge ketimbang rutinitas pekerjaan manual seperti yang banyak terlihat di industri skala kecil dan menengah saat ini.

Bisa dilihat di negara-negara maju, bagaimana potensi ilmu ergonomi ini. Saya mencari sebuah contoh di negara Korea Selatan (yang masih dalam proses disebut negara maju). Pada umumnya, tidak ada ada satu jurusan secara khusus yang mempelari ERGONOMI. Korea Selatan memiliki jurusan yang cukup kuat di bidang mesin dan high technology. Cikal bakal high tech'nya berasal dari jurusan mesin yang kemudian digabung dengan elektro menjadi mechatronics. Di lingkungan industri high tech, mayoritas mesin yang memiliki presisi tinggi adalah hasil penelitian dari para ahli di bidang mechatronics.
(tentu saja memiliki jurusan sosial, ekonomi, dsb. yang masih potensial. Tetapi, secara khusus perihal Ergonomi, belum terlihat mendominasi di lingkungan jurusan Teknik Industri di universitas yang ada di Korea Selatan ini)

Tentu saja, ketika industri sudah melaju menuju otomasi industri, maka potensi Sumber Daya Manusia harus semakin berkembang, kalau tidak akan tersingkir oleh kemampuan robot atau mesin yang dirancang memiliki kemampuan serupa dengan manusia (Artificial Intelligence). Hal ini tentunya membawa dampak buruk bagi negara2 berkembang yang memiliki industri Padat Karya.

Oleh karena itu, mindset tentang Ergonomi tentunya sangat berbeda antara negara maju dan negara berkembang. Ketika Indonesia mau merambah area Ergonomi (karena Indonesia masih tergolong negara yang memiliki industri Padat Karya yang cukup banyak), maka ada potensi negara-negara berkembang lainnya akan belajar di Indonesia sebagai negara yang mampu mengatasi permasalahan ergonomi bagi para pekerjanya.

Saya melihat, potensi ilmu Ergonomi masih besar untuk bisa dikembangkan di Indonesia. Jangan sampai negara maju juga ikut dalam pengembangan ergonomi ini. Indonesia punya banyak contoh industri real daripada negara maju yang mengandalkan mesin dan otomasi. Ayo tingkatkan ilmu Teknik Industri !

Mindset ERGONOMI (1)

Dalam beberapa hari ini, saya berdiskusi dengan seorang rekan perihal ERGONOMI. Ergonomi adalah sebuah keilmuan yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. (dept. kes). Berikut ini artikel tentang Ergonomi yang saya kutip dari penjelasan Departemen Kesehatan.

Ruang lingkup ergonomik sangat luas aspeknya, antara lain meliputi :
- Tehnik
- Fisik
- Pengalaman psikis
- Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot dan persendian
- Anthropometri
- Sosiologi
- Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperatur tubuh, Oxygen uptake, pols, dan aktivitas otot.
- Desain, dll.

Metode Ergonomi
1. Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi tempat kerja penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomik checklist dan pengukuran lingkungan kerja lainnya.Variasinya akan sangat luas mulai dari yang sederhana sampai kompleks.

2. Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar pada saat diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi meubel, letak pencahayaan atau jendela yang sesuai. Membelifurniture sesuai dengan demensi fisik pekerja.

3. Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif, subyektif misalnya dengan menanyakan kenyamanan, bagian badan yang sakit,nyeri bahu dan siku, keletihan , sakit kepala dan lain-lain. Secaraobyektif misalnya dengan parameter produk yang ditolak, absensisakit, angka kecelakaan dan lain-lain.

Aplikasi/penerapan Ergonomik:
1. Posisi Kerja terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dimana posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.
2. Proses Kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya. Harus dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur.

3. Tata letak tempat kerja
Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja.Sedangkan simbol yang berlaku secara internasional lebih banyak digunakan daripada kata-kata.
4. Mengangkat beban
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan kepala, bahu, tangan, punggung dsbnya. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang berlebihan.
a. Menjinjing beban
Beban yang diangkat tidak melebihi aturan yang ditetapkan ILO sbb:
- Laki-laki dewasa 40 kg
- Wanita dewasa 15-20 kg
- Laki-laki (16-18 th) 15-20 kg
- Wanita (16-18 th) 12-15 kg
b. Organisasi kerja
Pekerjaan harus di atur dengan berbagai cara :
- Alat bantu mekanik diperlukan kapanpun
- Frekuensi pergerakan diminimalisasi
- Jarak mengangkat beban dikurangi
- Dalam membawa beban perlu diingat bidangnya tidak licin dan mengangkat tidak terlalu tinggi.
- Prinsip ergonomi yang relevan bisa diterapkan.
c. Metode mengangkat beban
Semua pekerja harus diajarkan mengangkat beban. Metode kinetik dari pedoman penanganan harus dipakai yang didasarkan pada dua prinsip :
- Otot lengan lebih banyak digunakan dari pada otot punggung
- Untuk memulai gerakan horizontal maka digunakan momentum berat badan.Metoda ini termasuk 5 faktor dasar :
o Posisi kaki yang benar
o Punggung kuat dan kekar
o Posisi lengan dekat dengan tubuh
o Mengangkat dengan benar
o Menggunakan berat badan
d. Supervisi medis
Semua pekerja secara kontinyu harus mendapat supervisi medis teratur.
- Pemeriksaan sebelum bekerja untuk menyesuaikan dengan beban kerjanya
- Pemeriksaan berkala untuk memastikan pekerja sesuai dengan pekerjaannya dan mendeteksi bila ada kelainan
- Nasehat harus diberikan tentang hygiene dan kesehatan,khususnya pada wanita muda dan yang sudah berumur.

Kelelahan/Fatique
Setelah pekerja melakukan pekerjaannya maka umumnya terjadi kelelahan, dalam hal ini kita harus waspada dan harus kita bedakan jenis kelelahannya, beberapa ahli membedakan/membaginya sebagai berikut :
1. Kelelahan fisik
Kelelahan fisik akibat kerja yang berlebihan, dimana masih dapat dikompensasi dan diperbaiki performansnya seperti semula. Kalau tidak terlalu berat kelelahan ini bisa hilang setelah istirahat dan tidur yang cukup.
2. Kelelahan yang patologis
Kelelahan ini tergabung dengan penyakit yang diderita, biasanya muncul tiba-tiba dan berat gejalanya.
3. Psikologis dan emotional fatique
Kelelahan ini adalah bentuk yang umum. Kemungkinan merupakan sejenis “mekanisme melarikan diri dari kenyataan” pada penderitap sikosomatik. Semangat yang baik dan motivasi kerja akanmengurangi angka kejadiannya di tempat kerja.
4. Upaya kesehatan kerja dalam mengatasi kelelahan, meskipun seseorang mempunyai batas ketahanan, akan tetapi beberapa hal dibawah ini akan mengurangi kelelahan yang tidak seharusnyaterjadi :
· Lingkungan harus bersih dari zat-zat kimia.
· Pencahayaan dan ventilasi harus memadai dan tidak ada gangguan bising
· Jam kerja sehari diberikan waktu istirahat sejenak dan istirahat yang cukup saat makan siang.
· Kesehatan pekerja harus tetap dimonitor.
· Tempo kegiatan tidak harus terus menerus
· Waktu perjalanan dari dan ke tempat kerja harus sesingkat mungkin, kalau memungkinkan.
· Secara aktif mengidentifikasi sejumlah pekerja dalam peningkatan semangat kerja.
· Fasilitas rekreasi dan istirahat harus disediakan di tempat kerja.
· Waktu untuk liburan harus diberikan pada semua pekerja
· Kelompok pekerja yang rentan harus lebih diawasi misalnya;
- Pekerja remaja
- Wanita hamil dan menyusui
- Pekerja yang telah berumur
- Pekerja shift
- Migrant.
· Para pekerja yang mempunyai kebiasaan pada alkohol dan zat stimulan atau zat addiktif lainnya perlu diawasi.

Sunday, February 22, 2009

(Integrated) Negosiasi Bisnis

Budaya tawar-menawar (dengan kata halus = negosiasi) masih mewarnai kehidupan sehari-hari. Pasar swalayan selalu menyediakan barang dengan harga yang sudah tidak bisa ditawar. Tetapi, pasar tradisional masih memberikan keleluasaan dalam menawar harga maupun jumlah barang yang menjadi objek transaksi.

Begitu pula di dunia bisnis. Sangat berat ketika sebuah bisnis diperhadapkan masalah kualitas, biaya dan waktu. Kualitas selalu dikaitkan dengan kepuasan secara fisik dari object atau intangible dari sebuah jasa yang berkaitan dengan standard individu. Biaya berkaitan dengan harga atau uang yang perlu dikeluarkan terhadap sebuah transaksi. Dan waktu dihubungkan dengan besaran secara waktu yang diperlukan untuk sebuah transaksi.

Ketika membaca artikel http://www.detikfinance.com/read/2009/02/23/144519/1089091/4/china-tahan-pembiayaan-proyek-10000-mw-karena-kasus-merpati
sungguh sangat geli, ketika sebuah negosiasi bisnis bisa mempengaruhi bisnis yang lainnya. Dan, integrated bisnis seperti yang dilakukan pemerintah China memberi kekuatan pada ekonomi domestik dan memperkuat spekulasi bisnis di mata international.

Ketika sebuah pihak memiliki bargaining power (contoh: pihak kedua memiliki ketergantungan mutlak pada pihak kesatu), maka dapat dipastikan (integrated) negosiasi bisnis bisa mempengaruhi pihak kedua. Dengan integrated negosiasi bisnis yang dilakukan China, maka ekonomi di China pun bisa semakin kuat dan tidak mudah "dipermainkan" oleh pihak-pihak yang "mau seenaknya sendiri". Bahkan, bukan hanya pihak kesatu dan pihak kedua yang akan berkaitan dalam negosiasi bisnis tersebut, melainkan pihak ketiga yang merupakan bagian dari pihak kesatu pun perlu melakukan re-negosiasi untuk menyelamatkan pihak kesatu, sebagai sebuah kesatuan policy.

Hati-hati dalam melakukan negosiasi di era integrated-business ini. Budaya tawar-menawar itu bagus. Tapi, kalau sudah komitmen..... mari kita lakukan komitmen itu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

-------------------------------
Jakarta - Lembaga keuangan China menahan kucuran pendanaan untuk proyek 10.000 MW tahap pertama karena masalah pembelian pesawat oleh Merpati dari pabrikan China, Xian Aircraft Industry Company Ltd.
Demikian disampaikan Mentei ESDM Purnomo Yusgiantoro di sela-sela raker dengan Komisi VII di gedung DPR, Jakarta, Senin (23/2/2009). "China menahan pencarian dana untuk 10.000 MW tahap pertama karena semula Merpati mau beli pesawat dari perusahaan China tapi ternyata dibatalkan karena harga pesawat dinilai terlalu tinggi. Makanya China menahan kucuran dana untuk pembangunan 10.000 MW pertama," katanya.
Ketika dikonfirmasi apa benar pembatalan pembelian pesawat menjadi kendala kucuran dana dari China, Purnomo kembali menegaskan. "Mereka memang menggunakan itu untuk tahan aliran dana ke proyek 10.000 MW tahap pertama. Makanya kami ingin klarifiaksi itu dengan pemerintah China. Jangan sampai itu dilakukan, karena kami akan kesulitan dengan masalah Merpati ini," tegasnya.
Purnomo menjelaskan, sebelumnya Merpati berencana membeli 15 pesawat dari Xian Aircraft Industry Company Ltd.Merpati rencananya memang membeli 15 unit pesawat dari produsen pesawat asal China yaitu Xian Aircraft Industry Company Ltd . Dari 15 unit pesawat jenis MA 60 itu sudah 2 unit didatangkan ke Indonesia sementara 13 unit lainnya masih tertunda.
Namun karena harganya dinilai terlalu tinggi, Merpati berencana menegosiasi ulang harga dan jumlah pesawat yang akan dibelinya. Namun pabrikan China tidak terima dan mengancam akan menggugat Merpati sebesar US$ 1 miliar. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kini memimpin tim negosiasi untuk membereskan masalah Merpati-Xian ini.

Tuesday, June 3, 2008

Seven eleven - Japan - Story

SEVEN-ELEVEN JAPAN CO.

Established in 1973, Seven-Eleven Japan set up its first store in May1974, in Koto-ku,Tokyo.

The company was first listed on the Tokyo Stock Exchange in October 1979. It is owned by the Ito-Yokado group which also manages a chain of supermarkets in Japan and owns a majority share in South land, the company managing Seven-Eleven in the US. The last ten years have been a period of phenomenal growth for Seven-Eleven Japan. Between 1985 and 1994, the number of stores increased from 2,299 to 5,523; sales increased from 386 billion Yen to 1,282 billion Yen; Net income increased from 9 billion Yen to 46 billion Yen.

In 1994, Seven-Eleven Japan ranked first among Japanese retailers in terms of ordinary profit. The return on equity (ROE) has averaged well over 20% over the last ten years. Seven-Eleven Japan is currently Japan's largest retailer in terms of operating income and number of stores. In 1994, customer visits to Seven-Eleven outlets totaled 1.8 billion,which translates to every person in Japan visiting a Seven-Eleven on average 15 times a year!

Company History and Profile

Both Ito-Yokado and Seven-Eleven Japan were founded by Mr. Masatoshi Ito. He started his retail empire after the second world war, when he joined his mother and elder brother to work in a small clothing store in Tokyo. By 1960 he was in sole control and the single store had grown into a $3 million company. After a trip to the US in 1961, Ito became convinced that superstores were the wave of the future.

At that time Japan was still dominated by Mom and Popstores. Ito's chain of superstores in the Tokyo area was instantly popular and still constitutesthe core of Ito-Yokado's retail operations. In 1972, Ito first approached the Southland Corporation about the possibility of opening Seven-Eleven convenience stores in Japan. After rejecting his initial request,Southland agreed to a licensing agreement in 1973. In exchange for 0.6% of total sales, Southland gave Ito exclusive rights throughout Japan.

In May 1974, the first Seven-Eleven convenience store opened in Tokyo. This new concept was an instant hit in Japan and experienced tremendous growth. By 1979 there were already 519 Seven-Eleven stores in Japan. By 1984 there were 2001 stores. Rapid growth has continued since then as detailed in Table 1, resulting in 5,523 stores by the end of 1994.

On October 24, 1990, the Southland Corporation entered into bankruptcy protection. Southland asked for Ito-Yokado's help and on March 5, 1991, IYG Holding was formed bySeven-Eleven Japan (48%) and Ito-Yokado (52%). IYG acquired 70% of Southland's common stock for a total price of $430 million.

Financial data for the different segments of the Ito-Yokado group demonstrates why Seven-Eleven Japan is worth a detailed study. Even though it contributes under 7% to thegroup's revenues from operations, it contributes over 47% of the group's operating income.

Over the last ten years, Seven Eleven Japan's revenue has grown on average by 12.6% annually and its net income has grown by 20.9% annually. Seven-Eleven Japan has managed to improve its return on sales (RoS) from 11.7% in 1984 to 25% in 1992. Over the last two years,the RoS has decreased somewhat to 23.8 % due to the economic recession in Japan.

Based on its annual sales, Seven-Eleven Japan is the third largest retailer in Japan. However, measured by ordinary profits, Seven-Eleven Japan is the largest retailer in Japan, even larger than its parent company, Ito-Yokado itself. With its 5,523 stores, Seven-Eleven is the largest convenience store chain in Japan. It is closely followed by Daiei CVS with 5,045 stores.

The Convenience Store Industry and 7-Eleven

As in the US, convenience stores in Japan provide customers with a variety of products carried by general retailers as well as food retailers. As of 1991, the retail structure was as shown below. While it is a small part of the overall retail outlets, Seven-Eleven Japan is a significant part of the convenience store outlets. It's share of this market has in fact grown since1991. This growth has been very carefully planned exploiting the core strengths that Seven-Eleven Japan has developed in theareas of Information systems and Distribution systems.

The Seven-Eleven Franchise System

Seven-Eleven has developed an extensive Franchise network and plays a keyrole in the daily operations of this network. The Seven-Eleven network consists of both company owned stores and third party owned franchises. In 1994 the percentage of company owned stores was 29.2%. To ensure efficiency, Seven-Eleven Japan's fundamental network expansion policy is based upon a market dominance strategy.

Entry into any new market is built around a cluster of 50 to 60 stores. Such clustering gives Seven-Eleven a high density market presence and allows itto operate an efficient distribution system. Seven-Eleven, in its annual report, lists th efollowing as advantages of the market-dominance strategy:

1. Boosts distribution efficiency.
2. Improves brand awareness.
3. Increases system efficiency.
4. Enhances the efficiency of franchise support services.
5. Improves advertising effectiveness.
6. Prevents competitors entrance into the dominant area.

Adhering to their dominant strategy, Seven-Eleven opened the majority of the 417 new stores in areas with existing clusters of stores. However, geographically Seven-Eleven Japan has a limited presence.They have stores in less than half (21 out of 47) the prefectures within Japan. However within prefectures where they are present, stores tend to be dense. The distribution of Seven-Eleven stores within Japan is contained in Figure 2.

Less than 1 out of 100 applicants is awarded a franchise (a testament totheir profitability) .The franchise owner is required to put 3 million Yen up front. Half of this amount is used for preparation of the store and training of the owner. The rest is used for purchasing the initial stock for the store. Seven-Eleven has an active ongoing relationship with the franchises.

Fortyfive percent of total gross profits at a store go to Seven-Eleven with the rest going to the store owner. The responsibilities of the two are as follows:Seven-Eleven Japan responsibilities:

1. Development of supply and merchandise.
2. Providing the ordering system.
3. Cost of system operation.
4. Accounting.
5. Advertising.
6. Installation and remodeling of facilities.
7. 80% of utility costs.

Franchise owner responsibilities:
1. Operation and management of store.
2. Hiring and paying staff.
3. Ordering.
4. Maintaining store appearance.
5. Customer service.

Source :SEVEN-ELEVEN JAPAN CO.
Kellogg Kellogg Graduate School of Management, Northwestern UniversityOperations Logistics and Supply Chain Management

Tuesday, May 27, 2008

Scarlet - the industrial psychology - inovasi baru dalam marketing

Hari ini saya melihat sebuah iklan dari sebuah perusahaan besar di Korea Selatan, LG. Mereka baru saja meluncurkan sebuah produk, Scarlet TV dengan cara yang sangat tidak biasa, tetapi membuat gebrakan baru dalam dunia marketing dan memberi efek yang sangat besar bagi penyebaran informasi kepada semua konsumen.

Scarlet, sebuah produk TV flat dengan memunculkan sebuah serial TV singkat yang dibintangi oleh Natassia Malthe (seorang berdarah Norwegia Malaysia) dalam sebuah triller yang juga di-release oleh youtube mengundang perhatian banyak kalangan konsumen yang tertarik pada hal-hal baru. Dengan menghabiskan $100 juta untuk global pemasaran dan periklanannya, ternyata hal itu menimbulkan pro dan kontra akibat keingin-tahuan para konsumen yang begitu besar. Alhasil, banyak orang menunjukkan tingkat emosi yang cukup besar ketika mengetahui bahwa "Scarlet is not a new TV series, but is a new series of TVs".

62 detik klip yang menunjukkan bahwa Scarlet menghadiri acara karpet merah (acara tahunan ternama bagi bintang-bintang), Fashion Week di New York, acara Bafta (setara dengan Oscar) di London membuat terpanga banyak orang mengenai serial baru ini. Bahkan imdb.com mencatat serial baru ini sebagai hit baru dalam dunia pertelevisian.

Sebuah hal yang menarik dikeluarkan oleh LG. "To win the game, we had to change the rules", begitulah yang disampaikan oleh Lee Kwan-Sup, vice president dari LG Electronics Digital Display Global Brand Marketing Team. " Kita harus berpikir dan bertindak secara berbeda dalam segala hal yang kita lakukan untuk mengubah persepsi tentang merek LG. Menjadi berbeda memiliki resiko tersendiri, tetapi kami mengambil resiko tersebut untuk membuat terobosan baru" tuturnya.

TV yang diakui sebagai TV teramping sedunia (dengan tebal 1.7 inches - 45mm) - sebuah desain unik yang diidentikan dengan pertemuan dengan seseorang - a beauty with a brain. Hal inilah yang yang memunculkan inspirasi kreatif untuk pemasaran yang belum pernah dilakukan oleh LG atau bahkan industri serupa lainnya.

Kemampuan untuk berubah dan tampil berbeda.. itulah yang sedang ditunjukkan oleh LG.
www.lge.com/about/press_release

Zaman Pemaknaan

Zaman Pemaknaan

*Dunia di Era Komputer *

Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis kita. Begitu kira-kira pesan Daniel Pink dalam buku terbarunya A Whole New Mind (2005). Pesannya belum selesai. Pink melanjutkan, yang benar-benar penting bagimanusia adalah pemaknaan; bagaimana membuat makna.

Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh komputer. Selain itu, keindahan, empati, dan keceriaan juga merupakan ciri- ciri manusiawi yang tak dimiliki komputer; kualitas-kualitas yang memungkinkan manusia melakukan berbagai inovasi dan menghindarkannya dari komoditisasi menjadi saingan mesin-mesin.

Kualitas-kualitas itu pula yang memungkinkan orang mampu membuat konsep, representasi benda-benda di pikiran manusia; baik benda konkret maupun abstrak, benda nyata maupun imajiner. Manusia mampu membuat representasi kognitif dari berbagai hal yang belum ada dalam kenyataan, mampu membayangkan masa depan.

Ini mengingatkan saya kepada Ernst Cassirer (1944) dalam An Essay on Man. Manusia adalah makhluk simbolik, kemampuannya mencipta dan mengolah lambang menjadikannya unggul dari organisme lain, menjadikannya makhluk beradab dan berbudaya. Kemampuan simbolik itu yang memungkinkan manusia mampu membuatkonsep, menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, menyusunnya menjadi cerita; rangkaian peristiwa yang dimaknai berdasarkan urutan kejadiannya.

Sekarang, kata Pink, adalah zaman konseptual. Kemampuan membuat konsep merupakan kelebihan manusia yang tak tergantikan oleh apa pun. Komputer mampu melakukan empat miliar perhitungan setiap detik tanpa merasa lelah atau jenuh. Bagaimana kita menyainginya? Perlukah kita bersaing dengan komputer?

Jawaban Pink: tidak perlu! Biarkan komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis dan klerikal serta pekerjaan rutin lainnya. Urusan manusia adalah membuat konsep; memaknai berbagai hal yang ada di sekelilingnya; membuat makna-makna baru; membuat dunia lebih indah, hangat dan ceria. Menjadikan dunia sebagai tempat yang manusiawi.

Belahan (hemisphere) kanan otak manusia diduga merupakan sumber dari kualitas-kualitas manusiawi itu. Tentu saja belahan ini berfungsi secara integratif dengan bagian-bagian lain sistem syaraf manusia. Fungsi kreatif dan relasional be-'ranah' di belahan otak ini. Kreativitas memberi daya untuk menemukan hal-hal baru yang dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Fungsi relasional menghasilkan kemampuan membina hubungan interpersonal,membentuk kebersamaan intersubyektif yang meleluasakan kehidupan bersama bagi subyek-subyek anggotanya. Kreativitas didasari oleh kemampuan membayangkan sesuatu yang belum ada atau dengan kata lain membuat konsep-konsep baru, serta membayangkan sesuatu yang lebih baik, lebih indah, daripada yang ada sekarang.

Kemampuan membuat konsep yang didasari oleh kemampuan memberi dan mencipta makna, juga kemampuan menikmati keindahan, empati, serta memandang dunia seisinya sebagai hal yang menyenangkan, tampil jelas dalam penceritaan(storytelling) . Kemampuan manusia membuat cerita, lalu menyampaikannya, juga mengambil pelajaran dari sana, merupakan implikasi dari kemampuan manusia membuat konsep, menghayati keindahan, empati, dan keceriaan.

Cerita, sesuatu yang kita akrabi sejak kecil, mengandung konsep-konsep yang terangkai sedemikian rupa menjadi jalinan makna yang menggugah dan menyenangkan. Cerita yang menarik memanfaatkan kualitas-kualitas manusiawi itu.

*Zaman konseptual*

Menamakan zaman kini sebagai zaman konseptual berarti memahaminya sebagai zaman penceritaan. Ini tidak berlebihan jika kita cermati apa yang ditunjukkan oleh Deirdre McCloskey dan Arjo Klamer (1995) dalam esei mereka"One Quarter of GDP is Persuasion (in Rhetoric and Economic Behavior)" yang dimuat dalam American Economic Review. Di sana dinyatakan, 28 persen dariGNP di Amerika Serikat diperoleh dari persuasi yang kebanyakan isinya adalahpenyampaian cerita. Lewat penceritaan, orang-orang di sana melakukan aktivitas senilai 1,8 triliun dollar AS, jumlah yang sama sekali tidak sedikit.

Laurence Prusak dalam buku Storytelling in Organizations (ditulis bersama oleh Brown, Denning, Groh, & Prusak, 2005) menjelaskan apa yang membuat para CEO dibayar mahal: mereka bercerita. Dikutipnya Jack Welch, mantan CEO perusahaan multinasional General Electric yang semasa mahasiswa nilainya rata-rata C+. Welch menjadi CEO asal Irlandia yang sukses dan ternama karena kemampuannya bercerita. Prusak menunjukkan kebenaran ucapan itu. Dengan kemampuan bercerita yang kuat, orang bisa menyampaikan cerita ke WallStreet, bursa efek terbesar di dunia. Di sana, penceritaan itu akan menghasilkan implikasi ekonomi dan finansial yang hebat, punya implikasi praktis yang besar. Intinya, menurut Prusak, cerita punya peran yang besar dalam pengembangan budaya, organisasi, bisnis, ekonomi, dan masyarakat.

Sejalan dengan semua yang saya sebut tadi, Jerome Bruner, ahli psikologi kognitif yang belakangan menjadi tokoh penting dalam psikologi pendidikan dan psikologi budaya, menyatakan bahwa cerita merupakan unsur utama yang membentuk pikiran. Dasar dari pembuatan dan penyampaian cerita adalah fungsi naratif, pemahaman berdasarkan urutan waktu, berorientasi kepada tindakan dan pikiran yang mengarah kepada pengenalan terhadap detail. Dengan mode naratif, pikiran mengambil bentuk cerita dan drama yang menggugah.

Lebih jauh lagi, Bruner (1991) menjelaskan bahwa cerita dan penceritaan sebagai produk budaya merupakan media yang paling berperan dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Dalam risalahnya, "TheNarrative Construction of Reality", Bruner berargumen bahwa struktur pikiran mendapatkan pemahaman realitas melalui perantaraan produk-produk kultural seperti bahasa dan sistem simbolik lainnya. Produk- produk itu tersusun dari naratif yang merupakan produk kultural, sekaligus juga pembentuk kebudayaan.

Kebudayaan terbentuk dan tampil bersama dalam hubungan dialogis-mutualistik di antara individu yang menjadi warganya. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu diberi makna sedemikian rupa dan dirangkai menjadi cerita yangmembentuk kebudayaan dari orang-orang yang mengalaminya.

*Zaman penceritaan*

Paralel dengan kemampuan membuat konsep, kemampuan membuat dan menyampaikan cerita serta mengambil pelajaran dari cerita pun merupakan keunggulan manusia yang tak dimiliki oleh makhluk lain. Jika abad ke-21 disebut sebaga izaman konseptual, maka itu sekaligus juga sebagai zaman penceritaan. Penggunaan cerita dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang ilmiah maupun nonilmiah, menjadi metode dan media penting dalam proses perolehan pengetahuan, lebih jauh lagi dalam peningkatan kesejahteraan hidup manusia.

Penekanan pentingnya naratif dalam hidup manusia bukan sesuatu yang berlawanan dengan sains, melainkan pelengkapan proses perolehan pengetahuan. Sains dengan analisis yang menggunakan inteligensi menghasilkan kemajuan dan memberi kontribusi dalam kehidupan manusia jelas kita perlukan. Naratif dengan dasar pemahaman menyeluruh terhadap realitas menghasilkan kemampuan memahami dan memaknai secara lebih komprehensif, kreatif, dan simpatik, juga diperlukan.

Teori-teori yang didasari berbagai fakta yang ditemukan sains pada akhirnya perlu dirangkai jadi cerita yang dapat dipahami, dimaknai, dan dimanfaatkan dalam keseharian manusia. Untuk merangkainya diperlukan fungsi berpikir naratif. Sains perlu terus berkembang menjalankan perannya meningkatkan kesejahteraan manusia.

Hasil-hasil dari sains dan naratif dapat diterapkan dalam bentuk teknologi yang membantu meringankan beban hidup manusia. Teknologi bukan gantungan mutlak hidup manusia. Hidup manusia seharusnya diperkaya dan diperdalam oleh teknologi, bukan dikacaukan dan dilemahkan.

Komputer sebagai perwujudan teknologi pun demikian. Ia berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah teknis dan rutin, sehingga manusia punya waktu lebih banyak untuk memperkaya dan memperdalam hidupnya. Kembali kepada pesan Pink, biarkan komputer menyelesaikan masalah- masalah teknisdan rutin. Mari kita perkaya hidup dengan pemaknaan yang mendalam, kreatif,hangat, dan riang....

Bagus Takwin*Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia *

Monday, May 26, 2008

Seven Signs of Logistics Fraud

Seven Signs of Logistics Fraud
May 6, 2008 5:28 PM , By Mark Sullivan

What do you do when you receive an anonymous tip alleging that an executive running the transportation department is taking kickbacks?

At first such news can be hard to believe - especially when the department performs well, maintains services in spite of shrinking budgets, and increases savings every year. How could a department show improvement year after year and the executive be defrauding the company at the same time?In just such a case, an investigation revealed that cautionary flags had been flying all along, but the company ignored them because the department continued to perform. No one realized that while budgets and costs werereduced, they had started from seriously overinflated levels. It's easy tocut costs by 5% when you're overpaying by 25%!

Overpayment for services, one of the biggest red flags of all, tells you that the money is there. If it is available, there's a good chance that some people are scheming to get their hands on it. When investigating such redflags, we've found fraud in some cases and incompetence in others.

Every time, however, clients were paying millions of dollars more - usually5% to 25% more - than they should have for services rendered. Companies therefore need to look for the clues that will show if something is notright.

Whether red flags are present or not, however, well-designed internal controls and functional information systems make these frauds difficult toperpetrate. We have yet to see fraud seep into a logistics department where strong controls and processes are present.

Here are some of the warning signs management can watch out for in order to minimize the risk of fraud from within:

Undocumented selection of vendors or service providers

When a single individual selects service providers, then related, controllable, or illicit players can be chosen. A more effective process requires competitive bids, the oversight of a company controller, and the establishment of a cross functional team to select carriers, third-partylogistics providers, or warehouse facilities using predefined criteria.

Rates paid are not in line with the company's standing in the market

Benchmark the rates you pay to service providers. It is difficult for acarrier that earns a fair profit to distribute part of its revenues inkickbacks or illicit payments. Even criminal carriers have to pay their drivers, purchase gas, and provide equipment. One way to a mass a slush fundis to charge slightly above market rates on every transaction, saving these small overcharges to make big payouts.

Payments made outside of the normal account payable system

All payments to a vendor must first be matched to a purchase order and proofof delivery. Progressive companies will calculate freight movement costs, create a purchase order for the planned move, compare invoices, and insure that the delivery took place. Be careful if payments to service providers are: not matched to a unique purchase order or load number; hand delivered; processed outside of thenormal accounts payable system; not accompanied by proof of delivery; paid without an automated calculation of what the charges should be; or approved manually.

Executives with unexplained lifestyle improvements or an extreme debt load

Some of the more common items to look for are luxury cars, trips or vacations with representatives of the supplier, and purchases of realestate.

Business going to related parties

When a manager can choose a service provider with little scrutiny, he can take an ownership interest in a favored carrier. For example, in an instancewhere the logistics manager had sole responsibility for authorizing 100% ofthe moves, matching all of the rates and invoices, and demonstrating that rates paid were market competitive, we learned that he covertly owned partof the sole service provider. This carrier also artificially increased its invoices to the company by using sub-optimal equipment, raising the costsfor our client by 20%.

Unusual payment patterns

Use technology to mine your own data and create exception reports. Whencontrols around payment matching and approvals are weak, service providerswill learn that a company does not notice when they over bill, double bill,ghost bill, or bill for the wrong service. Falsified invoices, however,rarely follow the same patterns as those from honest suppliers.

Any of the following might indicate fraudulent activity: a dramatic increase in payments to one vendor; a high number of transactions under audit thresholds; consecutive invoice numbers or multiple invoices on the sameday; or payments highlighted by exceptions to Benford's law, which statesthat numbers that occur naturally in business follow some basic patterns.Perpetrators of fraud rarely have the knowledge or capability to fake these.

Complaints or tips

While logistics managers or executives may wield the power to navigate weak controls to perpetrate fraud, they have a harder time fooling those working closely with them. Eventually, they try to get rid of nonconformers or exclude them from the "in crowd." Paying close attention to the dynamics within a department and the comments or complaints lodged by coworkers canprovide significant clues that things might not be what they seem.

Angsa Itu Mulai Beranak Elang - Kairetsu

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share diperusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering dll.

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan perusahaaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kita terhindar dari import duty yang tinggi sehingga harga mobil tidakperlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun1960-an-1970- an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak samar-samar. Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama sehubungan dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut. Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi. Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan sub kontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen. Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association) , yang terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota ProsperityAssociation) , yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu. Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimal mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.

Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkaian sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu. Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, maka perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu pensuplai dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.* *

*KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belum lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yangditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang timbul selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang mandiri.Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru,barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan.

Kalau semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta rangkaiannya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

Sumber : Kompas

Tuesday, May 20, 2008

Biaya transportasi barang di Indonesia dinilai mahal

(diambil dari Bisnis Indonesia online, 16 April 2008)
JAKARTA: Transportasi barang di Indonesia belum efisien, terbukti dari tingginya biaya operasional kendaraan yang mencapai US$0,34 per km atau lebih mahal 35% dibandingkan dengan rata-rata Asia sebesar US$0,22 per km.

Hal itu terungkap dalam studi biaya transportasi barang Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan dan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan The Asia Foundation pada Oktober-Desember 2006.

Temuan itu menegaskan kembali posisi industri angkutan barang di Indonesia yang tergolong berbiaya tinggi dan tidak efisien seperti yang dilansir oleh Bank Dunia beberapa waktu lalu.

Arianto A. Patunru, Research Director LPEM FEUI, mengatakan rata-rata biaya operasional kendaraan di Indonesia mencapai Rp3.093 per km atau US$0,34 per km, sedangkan rata-rata Asia hanya US$0,22 per km.

"Selama 2005 sampai sekarang tak banyak perbaikan sehingga biaya logistik di Indonesia 14% dari total biaya produksi," katanya dalam laporan studi itu, kemarin.

Dia menjelaskan temuan itu mengacu studi di enam rute, yakni Bulukumba-Makassar, Pare Pare-Makassar, Palopo-Pare Pare, Mamuju-Pare Pare, Marisa, Gorontalo, Kotamobagu-Manado, Sumbawa-Mataram, Malang-Surabaya, Rautau Parapat-Medan. Studi itu melibatkan 315 pengemudi truk dari 179 perusahaan.

Arianto menyatakan rute Rantau Parapat-Medan menempati posisi paling mahal di Indonesia dengan biaya Rp3,236 per km, sedangkan yang paling rendah di rute Malang-Surabaya sebesar Rp2,823 per km.

Arianto memaparkan besarnya biaya transportasi barang di Indonesia lebih disebabkan oleh banyaknya masalah di jalan. Sedikitnya ada empat masalah utama yang menyebabkan biaya transportasi barang menjadi mahal, yakni kualitas jalan rendah dan topografi sulit, peraturan dan perizinan serta retribusi daerah, jembatan timbang dan kelebihan muatan, serta pungutan keamanan.

Menurut studi itu, masalah perizinan dan retribusi daerah merupakan komponen tertinggi pungutan di jalan, yakni mencapai 46%.

Tindakan nyata

Neil McCulloch, Direktur Program Ekonomi The Asia Foundation, menyatakan pihaknya merekomendasikan agar pemerintah pusat dan daerah melakukan tindakan nyata untuk menurunkan biaya transportasi barang.

"Pemerintah pusat dan daerah perlu menghentikan berbagai pungutan atau biaya-biaya tambahan di transportasi barang," kata McCulloch.

Untuk beberapa sektor, ungkapnya, total biaya sebelum pengiriman dan angkutan darat dalam negeri lebih dari 40% dari total biaya logistik dan biaya angkutan.

Dia merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah agar mengkaji ulang semua regulasi transportasi, baik di tingkat nasional maupun daerah, menghapus retribusi daerah, dan pengembangan kapasitas.

Selain itu, lanjut McCulloch, perlu dilakukan kampanye transparansi, reformasi sistem insentif polisi, penyebarluasan inisiatif Departemen Perhubungan dalam mengurangi toleransi muatan lebih.

Dirjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Iskandar Abubakar menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri untuk mencabut peraturan daerah tentang retribusi.

"Kami berupaya mengumpulkan peraturan daerah yang sebabkan biaya tinggi di angkutan darat agar bisa dihapuskan," kata Iskandar.

Sementara itu, Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polri Kombes Pol Lukito menyatakan pihaknya telah menindak aparat yang melakukan pungutan keamanan dengan memutasi pejabat kepolisian yang membawahi aparat tersebut.

Namun, dia menilai penelitian Asia Foundation dan LPEM FEUI kurang objektif karena pungutan itu tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan atau polisi, tetapi juga oleh instansi lain. (01/09) (hendra.wibawa@bisnis.co.id)

Wednesday, January 2, 2008

resource-based outsourcing

2008 has come. The industrial world trends have move toward outsourcing. The biggest issue as cited from Supply Chain Daily.com is that oursourcing will be the trend of 2008.

The outsourcing process usually takes place as a process outsourcing. Manufacturers outsource their product to speed up the lead time and save some cost toward excessing the production capacity. However, this kind of outsourcing is the common model recently.

There is no limitation among the world. The Information Technology (IT) give a huge advantage to bridge the gap between each location, due to distances and time problem. In the next period, not only process which can be outsourced, but also resources that can be shared among industry, country and other organization.

Resource-based outsourcing is adapted from the process-based outsourcing. The head-hunter organization may think that employee turn-over is getting growth for the economic reason. But, the trends toward migrating from one organization to another organization is changing to the word "outsourcing" itself. People, or other resources, don't have to move to other organization. They can have such kind of authentication and authorization to do some task to help the growth of other organization. The reward will be based on the result of the resources contribution.

Such of mechanism in BPM (Business Process Management) called resource management has developed some controls toward this idea. The access control in distributed environment will be the basic idea to implement the resource-based outsourcing. Nowadays, I am doing research about RBAC (Role Based Access Control) which is an approach toward the security issue in the BPM system.

Therefore, prepare yourself to be a globalized person. You don't need to move to other country to get a better salary. Ability, credibility and competence are some of the key issues for getting the job of the resource-based outsourcing from your place where you are now.