Showing posts with label Global Thinking. Show all posts
Showing posts with label Global Thinking. Show all posts

Monday, May 10, 2010

Siapa bilang manufaktur identik dengan "jelek" dan "kotor" ?

Ketika kita berbicara tentang teknik mesin, kita punya image bahwa ilmu itu berhubungan dengan bengkel, onderdil, tempat yang kotor, tempat yang tidak teratur, tempat yang jelek, dll. Begitu pula ketika kita berdiskusi tentang teknik industri. Pabrik juga identik dengan mesin-mesin yang menggunakan onderdil, oli, barang2 yang bisa menimbulkan kotor dan jelek dari sisi keindahan dan pemandangan.

Namun, foto di bawah ini menunjukkan hal yang berbeda. Manufaktur yang indah dan bersih memberikan dampak yang baik kepada para pekerja. Saya yakin, ada beberapa industri yang telah menjaga kebersihan dan keindahan seperti foto di bawah ini. Apabila ada yang memiliki gambar serupa, biarlah gambar/foto itu dapat dibagikan kepada para industriawan untuk menjadi sebuah pelajaran positif bagi industri Indonesia.

Volkswagen Phaeton plant
Who says a factory has to be ugly and dirty? This is not your average car-assembly plant. Also known as the “Transparent Factory,” the walls of Volkswagen’s Phaeton Plant are made of almost 300,000 square feet of glass. The striking look is completed by Canadian Maple hardwood flooring.






source : http://workerproductivity.org/just-for-fun/10-cool-office-in-the-world/

Bangunan kantor menentukan produktivitas ?

Para insinyur di bidang teknik industri berusaha mencari cara bagaimana menentukan faktor-faktor dalam industri (baik manufaktur maupun jasa) agar produktivitas kerja meningkat. Cara yang dilakukan adalah melakukan efisiensi dan manajemen sains dengan cara2 yang ilmiah, dihitung dengan matematis bahkan simulasi rumit yang akan memberikan hasil akurat dengan asumsi deterministik.

Perhitungan itu memang bisa menjadi salah satu acuan. Namun, ada satu faktor juga yang menentukan produktivitas pekerjaan, yaitu bangunan kantor kita. Coba kita simak bagaimana nyamannya kantor2 yang dikutip di bawah ini. Kalau kita berada di tempat itu, apakah produktivitas kita akan semakin meningkat atau menurun ?

Chamber of Commerce, Slovenia





Google Zurich








Selgas Cano Architecture







TBWA Hakukodo
Japanese advertising company






Pallota Teamworks




Facebook




Hyves
Social Networking from Netherlands







source : http://theroxor.com/2009/11/30/15-awesome-and-inspiring-offices/

Wednesday, October 7, 2009

Customization

Penyedia jasa sudah memberikan signal untuk menyediakan "CUSTOMIZED" service. Sebuah hal yang dinantikan oleh konsumen, yaitu customization, telah dilakukan oleh beberapa perusahaan terkemuka untuk dapat bersaing di era yang penuh dengan kompetisi.

Teori customization sangat mudah. Sebuah perusahaan perlu mengetahui "isi hati" konsumen dan memproduksi produk yang sesuai dengan keinginan "isi hati" tersebut. Namun, dalam praktek sebuah bisnis, proses negosiasi atau proses untuk mengetahui "isi hati" konsumen adalah sangat susah. Banyak keinginan konsumen yang, bisa jadi, tidak sesuai dengan proses produksi atau material yang tersedia. Bisa jadi, konsumen justru lebih kecewa ketika mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak bisa memenuhi keinginannya.

Hal ini tentunya bisa dicari jalan tengahnya. Perusahaan menyediakan media yang dapat membatasi keinginan konsumen dalam hal design. Dan, konsumen dapat memiliki akses tersendiri untuk men-desain produk sesuai dengan keinginannya. Sesuatu yang tidak mudah. Tetapi, hal ini telah dilakukan oleh beberapa perusahaan terkemuka di dunia. Hari ini, saya akan mengambil contoh 3 perusahaan besar yang telah mengadopsi sistem CUSTOMIZATION untuk meningkatkan kompetensi perusahaan mereka di era Co-Creation Customer Value.

NIKE (USA)

Konsumen dapat memberikan inspirasi sebuah desain sepatu yang bagus berdasarkan keinginan pribadi. Tentunya, ada banyak constraint yang perlu diketahui oleh konsumen. Dengan teknologi Web 2.0, sistem design customization dapat terlaksana. NIKE telah memulai sebuah metode menjaring suara konsumen perihal desain sepatu. Desain, warna, bentuk, dan segala properties yang perlu dilakukan untuk desain sepatu telah disediakan dalam website NIKE. Konsumen dapat menanyakan pendapat kepada komunitas yang tersedia untuk pengguna NIKE. Dan, penyedia jasa bisa memberikan perkiraan harga untuk design yang telah dibuat. Tentu saja, sistem ini semakin meningkatkan antusiasme konsumen dalam "PERSONALIZED" produk sepatu.



LEGO (Denmark)

Banyak kompetitor melihat mainan LEGO sebagai produk yang prospektif untuk mainan anak. Bukan hal itu saja, beragam permainan video telah menguras perhatian anak2, sehingga mereka beralih dari permainan LEGO ke arah video game. Hal ini sangat tidak menguntungkan LEGO sebagai pemain awal di dunia mainan anak-anak yang membutuhkan kreativitas dan ketrampilan ini. Dengan menggunakan teknologi Web 2.0, konsumen dapat mendownload sebuah software LEGO DIGITAL DESIGNER untuk membuat LEGO yang sesuai dengan keinginan pribadinya. Potensi sistem CUSTOMIZATION ini akan menjadi peluang yang sangat bagus untuk masa depan LEGO ketika mengetahui keinginan konsumen satu per satu.



IKEA (Sweden)

Sebuah perusahaan furniture dunia dari Swedia, yang sudah tidak asing lagi di telinga international, memberikan fasilitas kemudahan bagi konsumen yang ingin berbelanja perabotan rumah tangga. Fasilitas HOME PLANNER yang disediakan oleh IKEA memberi kemudahan bagi konsumen untuk mendesain (rumah, kantor, dapur, kamar tidur, dll.) dan mengetahui perkiraan harga dari desain yang dibuatnya. Desain yang telah dibuat dapat dikirimkan ke kantor IKEA dan pengiriman akan dilakukan sesuai dengan ketersediaan barang di gudang. Sistem ini sudah diterapkan cukup lama oleh IKEA US dan Europe untuk memberi kepuasan dan kelegaan kepada konsumen perihal desain dan customization.



Ada banyak perusahaan lain sedang mengarah pada hal serupa. Mereka berlomba-lomba menjadi perusahaan yang siap "CUSTOMIZED" pada setiap keinginan konsumen. Apabila tiba saatnya, kita yang adalah konsumen harus menentukan pilihan yang tepat. Ketika semua menyediakan kemudahan, maka kita yang akan kesulitan memilih.

Para konsumen, bersiaplah pada era "CUSTOMIZATION".

Tuesday, September 22, 2009

Virtual Currency

How can the future economic change ?
Could we imagine our future money ? There could be a lot of lifestyle changes in the world. Most people would like to consider the virtual currency as their future revenue and leave their actual job which is obtaining the real money. Could you imagine that ?

Internet applications move toward the virtual world (such as virtual economy) that allows every users to pay online, either using the real currency or virtual currency. It is obvious that in the near future, people need not to work at the company since all online shop permit every purchase item paid by virtual money. And, they - users - could easily get virtual currency by playing game online, use the social networking application (facebook, hi5, etc.).

People get rewards from what they contributed (to company, to organization, to others, etc.). It is certain that this reward & punishment issue are relevant to any actual industry. However, sooner or later, the advent of virtual world turn this issue into virtual reward and punishment. By gaming online, people need not to worry about real punishment. They could survive and put more effort to gain the rewards. In the social networking application, they do not worry about any distrust issue. If someone befool us, we don't have to worry about our real life since it will not influence our meal. Loosing any virtual money will not effect to much on the real world's life. That will be a big issue for human being in the next decade.

I refered to some articles that discussing about the virtual currency issues.

Universal virtual currency, however, could make a lot of sense for Facebook, especially given the recent “virtual credits” system that was introduced in Facebook’s own virtual gifting system. In this scenario, users would buy blocks of Facebook virtual currency directly, and then be able to use them in various ways in both Facebook’s own virtual gifts store or in third party applications. Hi5 announced a similar universal virtual currency program two weeks ago for developers on the hi5 Platform.

A large virtual currency and payment ecosystem has been growing on the Facebook Platform over the last two years. Many games and other applications are already monetizing well through their own virtual currencies, either through offer providers such as OfferPal, Super Rewards, Peanut Labs, and Gambit, direct credit card or Paypal/Amazon/Google payments through providers like Jambool and Spare Change, or mobile payments through providers like Zong and Paymo.

The opportunity to plug into a virtual currency system that would be available to every Facebook user would certainly be interesting to many developers. However, neither building a global payments platform nor managing a universal virtual currency are small tasks.

Should Facebook launch a virtual currency system, the dynamics of how it would affect existing monetization systems would heavily depend on the implementation – both from a user experience and a technical integration perspective. However, ultimately, things will simply come down to whichever option can make the best returns for a given application’s user base.

JAMBOOL
Payments is hard. Creating and managing an economy is even harder – just ask the Federal Reserve. Social Gold solves both problems for developers with a secure and easy-to-integrate API. Specifically, Social Gold offers:

•a scalable currency platform that you can have up and running with your own white-labeled currency in a matter of hours
•an industry-leading, in-game payments experience that can increase conversion by as much as 50%
•a robust analytics platform that helps you manage and optimize your virtual economy

Spare Change
Spare Change is simple. Users fund their Spare Change account with their credit card, PayPal, bank account or mobile phone - or complete marketing offers and surveys. Users use Spare Change instantly on all of their favorite social network applications.
For consumer:
- Buy fast and easy. It's never been easier to buy online. With Spare Change you can use your network logon or Spare Change balance on hundreds of apps with just a single click. Think iTunes on social networks.
- Buy with confidence. With Spare Change, any purchase you make is eligible for a 30-day refund.

For developer:
- Increase your revenue. By accepting micropayments via Spare Change, you can greatly increase your revenue. Also earn a revenue stream off every new user you refer to Spare Change!
- Integrate fast. We made payments, which are usually pretty hard, really easy. We find most developers can integrate our solution in just a couple hours.
- Grow your user base. Not only do we help you monetize your users, we also help drive other Spare Change users back to your apps.

Super Rewards

Implementing a Super Rewards offer-based platform has been proven to be the best way to monetize social applications and games. Super Rewards goes beyond displaying run-of-the-mill CPM or CPC ads; allowing publishers to incorporate the monetization platform as an unintrusive, yet integral component to the application or game.

Using the Super Rewards offer platform, publishers can reward gamers and app users with additional points, virtual goods, or virtual dollars for completing offers or paying directly with their credit card, mobile phone, or many other options.


Social Networking Sites: Super Rewards is implemented on nearly every major social networking platform including Facebook, Myspace, Bebo, and Hi5.

Standalone Sites: Super Rewards is also a primary monetization platform for a variety of standalone sites. Whether it is a dating web-app, software download site, or a membership/subscription-based site, Super Rewards can be easily implemented by dropping in the iFrame.

MMOs: Massively Multiplayer games and virtual worlds have also seen the benefits of turnkey virtual currency platform implementations. Super Rewards works there too!

iPhone: Add Super Rewards to your iPhone apps! Initial results show that mobile apps and games monetize extremely well. Create an account to download the SDK.

Gambit
In 2007, the Gambit's team formed kickflip inc. to build online games, eventually reaching over 7 million users. They had the same problem you have...making money. So they built all the tools they needed to help users pay for their games. Their users loved it. They also loved it. So they thought they'd allow a few friends to use it. Surprisingly, the developers and their users liked it too. Since then they've been focused on providing the easiest payment solution for online games and communities.

Peanut Labs Media Monetization Platform
The largest global footprint and widest choice of monetization options. Ever. The Peanut Labs Media Monetization Platform is designed specifically to work with virtual currencies and goods in the new digital economy - be they social applications on Facebook, Myspace or Linkedin, or leading Games and Gaming communities.

The platform is turnkey, simple to setup and fully managed. We handle all billing and sales logistics, customer support, currency conversions, optimizations and fraud resolution. Publishers average $300 eCPMs using the entire system. Peanut Labs was listed as a FAST Top 50 Company in 2008. See this Interactive Map for our global monetization options in major countries.

Offerpal Media
Offerpal Media, the leader in virtual currency monetization, in 16 September 2009 announced the launch of its self-service Multivariate Testing platform. Designed to help online game developers increase revenues from their virtual goods and services, the platform provides a simple way to test, measure and optimize critical monetization variables including exchange rates, price points, user interface options and more. The multivariate testing is available for free to users of Offerpal Media’s virtual currency payment platform.

source:
www.jambool.com
www.sparechangeinc.com
www.srpoints.com
www.getgambit.com
www.peanutlabsmedia.com
www.offerpalmedia.com

Monday, September 21, 2009

Busan New Port (1)

Busan Port ranks 5th in the world in terms of container cargo handling volume (13,452 million TEU, 2008) and serves as the hub port of Northeast Asia by connection to neighboring ports via far reaching network of feeder services. Since it is located on the key routes linking Europe and North America, ships travelling between North America and Eurasia may use Busan Port without changing their main trunk lines.





In the face of growing demands for better and more efficient port logistics services and heightened global competitiveness, the construction of Busan New Port with 30 new berths was planned and is scheduled for completion by 2015. Initial 6 berths were opened in 2006 and additional 24 berths are to be built by 2015.


The total cost is estimted at USD 9.15 billion and once completed, the new port will be capable of handling 8.04 million TEU's annually with the total capacity of 15 million TEU.


State-of-the-art, 22-row twin lifts and a top notch IT system will be introduced to offer the best port logistics services.


The northern distribution part will be developed by 2010. Foreign investors are invited to take opportunities to invest and do business in the new port and the distripark.


Distripark

An area of approximately 1.2 million square meter (288 acres) to the north of North Container Terminal of Busan New Port will be developed into a logistics district in four phases by 2010. Foreign logistics companies are invited to move into the distripark and take advantage of the state-of-the-art port logistics infrastructure and services that Busan New Port offers. In addition, tenant businesses can enjoy various incentives including tax benefits and streamlined administration services.


Free Trade Zone

North Container Terminal and the logisticis district measuring approximately 4 million square meters (960 acres) have been designated as a Free Trade Zone in 2004. Since Busan New Port is also a part of the Free Economic Zone, companies can benefit from the special status of this area and maximize the efficiency of their business operation by using all the incentives available under the Free Trade Zone Act and the Free Economic Zone Act.

Busan New Port Logistic Complex






Source: Invest Busan - Korea (www.investkorea.org) & Future Development of Busan Port (BPA, 2009)



Wednesday, July 15, 2009

The tertiary and quaternary sector of economy

Tertiary sector of economy

The tertiary sector of economy (also known as the service sector or the service industry) is one of the three economic sectors, the others being the secondary sector (approximately manufacturing ) and the primary sector (extraction such as mining, agriculture and fishing). The general definition of the Tertiary sector is producing a service instead of just a end product, in the case of the secondary sector. Sometimes an additional sector, the "quaternary sector" , is defined for the sharing of information (which normally belongs to the tertiary sector).
(source : wikipedia)

Industri jasa dalam kategori ekonomi pada jaman dahulu dapat disebut sebagai produk tak berwujud. (intangible produk). Industri jasa biasanya termasuk penyediaan jasa kepada business lain atau konsumen akhir. Transportasi, distribusi atau wholesaler, retailer .. juga di antaranya jasa pengendali hama ataupun industri hiburan, termasuk dalam kategori industri jasa. Produk riil juga dapat diubah menjadi sebuah media penghantar jasa seperti yang terjadi di restoran ataupun reparasi peralatan. Namun, industri jasa yang dimaksud disini lebih berkaitan dengan interaksi antara orang dan melayani konsumen daripada sekedar mengubah bentuk produk fisik.

Sektor industri jasa terdiri dari produk yang "soft", sebagai bagian dari ekonomi.. seperti asuransi, pemerintahan, pariwisata, banking, retail, pendidikan dan pelayanan sosial. Pekerjaan pada sektor "soft" ini, para pekerja lebih dominan untuk menggunakan aset pengetahuan (knowledge assets), aset kolaborasi (collaboration assets) dan perjanjian proses untuk meningkatkan produktivitas (effectiveness), potensi peningkatan performansi (performance improvement potential) dan kesinambungan (sustainability).

Banyak orang mengincar tipe perusahaan seperti ini dikarenakan bentuk perusahaan yang lebih fleksibel dan suasana kerja yang lebih mengedepankan aktualisasi diri sebagai salah satu puncak kebutuhan manusia (berdasar teori Maslow). Output yang dihasilkan dari sektor industri ini adalah informasi (konten), jasa, perhatian (attention), nasehat (advice), pengalaman (experiences), dan atau diskusi (FAQ). Contoh lain seputar sektor industri jasa :
Franchising, Media massa, jasa pendidikan, industri "hospitality" (restoran, hotel, casino), konsultan, advokasi, rumah sakit, pengendalian limbah, real estate, jasa personal (i.e. financial personal service), penyedia jasa (business service provider), dll.

Quaternary sector of the economy

The quaternary sector of the economy is an extension of the three-sector hypothesis of industrial evolution. It principally concerns the intellectual services: information generation, information sharing, consultation, education and research development . It is sometimes incorporated into the tertiary sector but many argue that intellectual services are distinct enough to warrant a separate sector.
(source : wikipedia)

Sektor industri ini banyak ditemukan di negara2 maju dan membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian intelektual tinggi. Sektor industri ini lebih mengedepankan pengembangan untuk masa depan. Penelitian dan pengembangan lebih diarahkan kepada pemangkasan biaya, penjajakan market baru, memproduksi ide inovatif, metode produksi / manufaktur baru, dsb. Untuk sektor industri farmasi (kimia), tentunya hal ini memiliki nilai yang sangat tinggi karena bisa menciptakan produk bermerek di masa depan yang memiliki keuntungan berlipat-lipat.

Namun, berdasarkan beberapa definisi, sektor quarternary ini juga termasuk perusahaan jasa murni seperti industri hiburan. dan, bahkan ada yang menempatkan sektor industri "quinary" yang merepresentasikan industri kesehatan, industri kebudayaan dan penelitian.

Sektor industri quaternary diantaranya bisa termasuk dalam kategori sektor industri tertiary, karena keduanya termasuk sektor industri jasa. Kedua sektor industri ini berperan cukup penting di UK (England) karena telah mempekerjakan 76% dari total tenaga kerja di UK. Dan, Indonesia, melalui departemen Perdagangan RI, telah menelurkan sebuah konsep Industri Kreatif dimana hal tersebut telah dicetuskan oleh UK di era abad 20 (1990-an) yang menjadi cikal bakal tertiary and quaternary industry.

Ringkasan dan Opini
Tidak mengherankan apabila posisi UK sebagai negara maju yang mampu mengedepankan creative industry menjadi contoh bagi negara2 berkembang lainnya. Kita bisa melihat bagaimana negara kecil Singapore bisa berkembang. Bukan karena kemampuan berproduksi (untuk produk secara fisik), tetapi kemampuan menghasilkan technology dengan knowledge dan mengembangkan segala sesuatu'nya dengan knowledge-based system.

Pergeseran industri dari bentuk fisik menjadi informasi akan semakin besar. Industri manufaktur padat karya akan tergeser oleh industri padat modal. Mau tidak mau, industri padat karya perlu segera berbenah diri.

Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, Sekjen Departemen Perindustrian mencontohkan untuk pertumbuhan industri makanan dan minuman menurun dalam 10 tahun terakhir dari 33 persen menjadi 29 persen. Sementara itu untuk industri elektronik dan alat angkut meningkat dalam 10 tahun yaitu dari pertumbuhan 20 persen menjadi 29 persen.

Sementara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Paskah Suzetta menambahkan, pertumbuhan industri pengolahan (manufaktur) terus mengalami penurunan. Pada tahun 2005, pertumbuhan industri pengolahan mencapai 4,62 persen per tahun, tapi di tahun 2008 menurun menjadi 3,66 persen.

(sumber : http://www.depperin.go.id/ind/publikasi/berita_psb/2009/20092054.HTM)

Bagaimana peluang lulusan Teknik Industri ?
High-tech industry akan semakin meningkat di Indonesia. Service Industry tentunya akan terus meningkat pula. Kemampuan analitis seorang alumni Teknik Industri akan tetap dibutuhkan di berbagai sektor tersebut. Dan, peluang kerja Teknik Industri akan semakin merambah pada tertiary and quaternary sector of economy. Tentunya, IT related skills akan dominan untuk alumni TI. Apakah IT related skills itu ? Algorithm-minded skills and Programming-skills, adalah 2 diantara sekian banyak IT related skills dibanding hanya sekedar membaca atau Data-analysis skills. Mereka yang mampu bereksperimen dengan data, mereka yang akan memanfaatkan sektor2 industri tertiary dan quaternary.

Opini ini bisa dipandang positif maupun negatif. Dan, opini ini masih bisa berkembang lagi berdasarkan data-data empiris yang masih belum bisa dikumpulkan hingga saat ini.
Semoga bermanfaat

Wednesday, June 24, 2009

Compact Industry

Seringkali, kita membayangkan kata pabrik, industri, perusahaan sebagai sesuatu hal yang nyata seperti bangunan, gedung, kantor... sesuatu yang terlihat memiliki aktivitas produksi, khususnya bagi Anda-anda yang berkecimpung di area Teknik Industri.

Kata pabrik, industri, perusahaan sangat kental sekali dengan area produksi. Ketiga kata ini memiliki keterkaitan satu sama lain dalam menjelaskan bagaimana sebuah industri itu sendiri. Dan, ketika kita berbicara tentang industri, maka otomatis kita akan berbicara tentang sebuah perusahaan yang berupa "pabrik" yang notabene memiliki tempat kerja, tempat menyimpan barang, tempat pengiriman barang, dll yang berkaitan dengan aktivitas pemindahan barang dan produksi barang.

Sudah hal lumrah kalau kita melihat pabrik dengan gedung yang besar. Namun, ketika melihat sebuah pameran bertajuk "Food", maka saya cukup terkagum dengan konsep industri baru yang disebut sebagai "COMPACT INDUSTRY".

Dengan munculnya COMPACT INDUSTRY, maka kita bisa membuat sebuah pabrik tanpa harus menggunakan mesin yang mahal untuk melakukan sebuah produksi. Para inovator dunia di bidang teknik mesin, berusaha membuat mesin pengolah menjadi sekecil mungkin, seefektif mungkin, se-efisien mungkin agar tidak memakan "space".

Mari kita melihat 2 contoh produk yang dilihat dari sisi pengemasan (packaging)



Kedua mesin ini adalah contoh dari mesin "vaccuum sealer". Pada beberapa periode lalu, kita mendapati bahwa mesin identik dengan sesuatu barang yang memiliki ukuran relatif besar dan cukup "gagah" dalam melakukan proses produksi. Oleh karena itu, di jurusan Teknik Industri juga menyediakan mata kuliah bertajuk "Proses Produksi".

Namun, pada era baru ini, para ahli di dunia mulai memikirkan sesuatu yang bersifat "COMPACT", dalam artian, ringkas, kecil, mudah dibawa, mudah disimpan, dsb.



Kedua gambar diatas menunjukkan betapa ringkas'nya sebuah mesin vaccuum sealer, dibandingkan dengan mesin yang ditampilkan di awal.

Begitu pula dengan mesin vaccuum sealer ini. Produk semacam ini sudah lama ada. Namun, keberadaannya semakin meluas dan kenyamanan dalam pemakaiannya semakin dirasakan. Dengan ketrampilan tangan yang cekatan, maka biaya produksi bisa semakin menurun (namun, belum tentu akurasi meningkat dan tingkat errornya menurun).
COMPACT INDUSTRY sudah mulai menjadi gejalan umum di dunia industri maju. Konsep menggunakan mesin yang lebih praktis dan ringkas menjadi konsep industri masa kini. Tentu saja, ada kelebihan dan kelemahan dari keberadaan masing-masing industri. Tidak dipungkiri, industri skala besar tentunya masih membutuhkan mesin yang "besar" untuk produksi. Namun, keberadaan mesin yang "compact" dapat menambah jumlah industri skala kecil dalam meningkatkan perekonomian dan nilai tambah dari sebuah produk yang ada.
Siapkah kita selalu berinovasi dengan hal-hal baru ?

Monday, May 11, 2009

10 most innovative countries in the world (2009)


No. 10 – Sweden
Overall score: 1.64
Innovation inputs score: 1.25
Innovation performance score: 1.88
GDP (Purchasing Power Parity): $358.4 billion
Foreign Direct Investment: $289.6 billion
Sweden has a strong engineering tradition that has made the country a leader in the automobile and telecom industries. Stockholm is a good incubator for startup companies. The European Union's 2008 survey of member nations put Sweden in the top tier of Innovation Leaders.

No. 9 – Japan
Overall score: 1.79
Innovation inputs score: 1.16
Innovation performance score: 2.25
GDP (Purchasing Power Parity): $4.5 trillion
Foreign Direct Investment: $597 billion
Japan's export-based economy might be enduring a deep recession, but its leading companies continue to innovate in key technologies. This year, pioneering carmakers Toyota (TM) and Honda (HMC) are both rolling out new, more advanced hybrids. Mitsubishi Motors and Fuji Heavy Industries unit Subaru will become the world's first major automakers to sell electric vehicles. And with energy-efficient industries set to be beneficiaries of government stimulus spending, Japan's technology strengths in solar, nuclear, and other carbon dioxide emissions-reducing technologies continue to attract investment, despite the downturn.

No. 8 – U.S.
Overall score: 1.80
Innovation inputs score: 1.28
Innovation performance score: 2.16
GDP (Purchasing Power Parity): $14.6 trillion
Foreign Direct Investment: $2.7 trillion
The recession has slammed the American economy, but the U.S. still is a world leader in all types of innovation. BusinessWeek's 2008 survey of the world's 50 most innovative companies had 31 American companies. Although many business executives are concerned about the quality of America's schools, U.S. universities continue to attract top talent from around the world. The global recession and visa difficulties, however, have led some foreign students to stay home.

No. 7 – Finland
Overall score: 1.87
Innovation inputs score: 1.76
Innovation performance score: 1.81
GDP (Purchasing Power Parity): $201.2 billion
Foreign Direct Investment: $121.9 billion
According to the European Union's survey released in January, Finland is an Innovation Leader, "with innovation performance well above that of the EU average and all other countries." The big booster to innovation in Finland is Nokia (NOK); the cell-phone giant is a major source of innovation and startups.

No. 6 – Hong Kong
Overall score: 1.88
Innovation inputs score: 1.61
Innovation performance score: 1.97
GDP (Purchasing Power Parity): $318.2 billion
Foreign Direct Investment: $1.1 trillion
One of the world's top financial centers, Hong Kong is a favorite for multinationals with operations in China and other parts of Asia. The city has a well-educated workforce and several top universities, although some business leaders fret about declining levels of English ability since Hong Kong's return to Chinese rule in 1997. Most of Hong Kong's labor-intensive factories have shifted operations across the border to mainland China, with Hong Kong now serving as a hub for logistics, design, and other services.

No. 5 – Ireland
Overall score: 1.88
Innovation inputs score: 1.59
Innovation performance score: 1.99
GDP (Purchasing Power Parity): $198.5 billion
Foreign Direct Investment: $149.1 billion
A low tax regime and a well-educated workforce have attracted Microsoft and other tech players to Ireland. Another factor helping Ireland move up the innovation ranking: The country's universities cooperate well with the private sector. The global financial crisis is taking its toll on the Emerald Isle, though: On Mar. 10, central bank governor John Hurley predicted Ireland's GDP would fall 6% this year and unemployment would hit 11%.

No. 4 – Iceland
Overall score: 2.17
Innovation inputs score: 2.00
Innovation performance score: 2.14
GDP (Purchasing Power Parity): $12.9 billion
Foreign Direct Investment: N/A
The global financial crisis has hammered Iceland. On Mar. 7, as part of a program to fight unemployment, the government announced plans to support an innovation center in Reykjavik. In addition to funding infrastructure projects like avalanche protection systems and revegetation efforts, the plan will also focus on "improving the competitive position of startups and innovative companies," the government information office said in a statement.

No. 3 – Switzerland
Overall score: 2.23
Innovation inputs score: 1.51
Innovation performance score: 2.74
GDP (Purchasing Power Parity): $309.9 billion
Foreign Direct Investment: $621.7 billion
Switzerland is a world leader in pharmaceuticals, thanks to companies such as Novartis (NVS) and Roche (RO.DE). Home to Nestlé (NESR.DE), it's also a leader in food research. Traditionally at the forefront of financial innovation, banks like UBS (UBS) have been badly damaged by the financial crisis.

No. 2 – South Korea
Overall score: 2.26
Innovation inputs score: 1.75
Innovation performance score: 2.55
GDP (Purchasing Power Parity): $1.3 trillion
Foreign Direct Investment: $74.6 billion
South Korea, which has often promoted joint research and development between state think tanks and large conglomerates, and has emerged as a leading innovator for electronics and telecommunications products, is now trying to reposition the country as a leader in green technologies. As part of the campaign, the government is seeking what it calls "Green New Deal" projects worth some $35 billion by 2012, and aims to increase the country's R&D spending to 5% of its GDP by 2012, from 3.47% in 2007. President Lee Myung Bak has also given a top priority to streamlining regulations to help accelerate innovation.

No. 1 – Singapore
Overall score: 2.45
Innovation inputs score: 2.74
Innovation performance score: 1.92
GDP (Purchasing Power Parity): $240 billion
Foreign Direct Investment: $142.4 billion
For decades, the Singapore government has aggressively courted foreign investment. The Southeast Asian island nation is a center for manufacturing, with strong petrochemicals, consumer electronics, and pharmaceutical industries, and the government has funded the growth of industrial parks focused on nurturing innovation in technology and biotech. Singapore's universities receive extensive support from the government, helping to make the country an attractive destination for multinationals seeking a well-educated workforce. Although Singapore has a population of just 4 million, the country makes it relatively easy for foreign talent to live and work there.


Source: BusinessWeek

Friday, November 14, 2008

u-agritour

Ada yang tahu istilah agritour ?

Agritour terdiri dari 2 kata, agrikultur dan tour. Artinya, petualangan seputar agrikultural. Dalam kehidupan kita, mungkin bisa dikategorikan sebagai wisata alam atau sejenis outbond. Beberapa kawasan wisata atau wahana lingkungan hidup menyediakan program serupa untuk mengenalkan tumbuhan atau hewan di alam sekitar.

Begitu pula dengan negara ginseng ini. Mereka menyediakan sebuah program untuk anak-anak, dimana program ini akan memperkenalkan agrikultural kepada para peserta program dengan menggunakan sistem ubiquitous (computer is everywhere).

Caranya bagaimana ?
1. Setiap Tumbuhan akan diberi Tag. Tag tersebut akan berisi informasi berupa teks yang nanti akan diteruskan ke setiap peserta.
2. Setiap anak akan diberikan tag dan reader. Tag berfungsi untuk mendeteksi lokasi peserta / anak (apabila lokasi kawasan wisata sangat besar) dan Reader berfungsi untuk membaca informasi dari tag yang akan dilalui. Reader bisa berupa HP (hand phone) atau PDA khusus.
3. Seorang anak akan berkeliling di kawasan wisata dan reader akan langsung menerima informasi dari tag yang jaraknya dekat dengan peserta, sehingga peserta dapat secara langsung menerima informasi di reader (HP atau PDA), bisa membaca maupun mendengar informasi tersebut.
4. Reader dapat melacak apakah peserta sudah melalui semua rute atau belum. Reader juga dapat memberikan konfirmasi, berapa lama seseorang mengamati sebuah tumbuhan. Hal ini akan memberi kemudahan bagi pembuat program untuk mengatur jadual antar kelompok.
5. Penjelasan di PDA akan lebih interaktif dan bisa didesain sesuai kebutuhan user, misalnya pilihan bahasa, pilihan warna background, pilihan font, dsb. Aplikasi ini akan memberi kesan belajar yang lebih menyenangkan.
Hal ini terlihat sangat sederhana tetapi menyenangkan. Banyak dari kita melihat fungsi agritour hanya sebagai sesuatu yang "ndeso". Padahal kalau kita mau gali lebih dalam, alam akan memberi makna tersendiri bagi kehidupan manusia. Dan, sudah menjadi tugas manusia untuk mengeksplorasi alam. Dan, teknologi dibuat untuk memberi kemudahan bagi manusia untuk belajar tentang alam.
Semoga teknologi ini memberi inspirasi bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Wednesday, October 8, 2008

Bulgaria - A new outsourcing Hot Spot

2007 welcomed Bulgaria into the European Union and into the global trading relationship with many countries. And 2008 promises even greater trade and investment achievements with bilateral investments into the world´s economy. The Bulgarian economy will continue to grow at a 5.5%-6% per year, and corporate tax rates were lowered to 10%. This is causing investors from various countries to take notice of the talent pool and the capabilities of the resources available.

As Bulgarian companies push forward to increase their competitiveness in the EU, the Bulgarian government continues to adapt with EU commerce practices. At the same time the legislation works on various aspects of the digital economy, new and expanded opportunities exist in the information and communication technology sectors. International information technology companies find Bulgaria attractive because of the 0% export tax, comparative low salaries and high skill level of the local workforce. Both fixed and mobile segments of the Bulgarian ICT market still have high growth potential with large investments expected in both segments. A number of foreign companies are opening call/service centers, software development companies, and various other ICT related companies have opened offices in Bulgaria.

There are opportunities for participation in tenders for sale of computers, peripherals and servers for government procurement. The government of Bulgaria has an e-government initiative that will provide major opportunities. With these intentions many global companies are taking advantage of the blossoming opportunities. U.S. providers of advanced telephone service solutions, as well as value-added telecommunications services are in demand. Other best prospects include Internet services, wireless and broadband Internet access technologies, cable television, and voice-over-Internet, routers, switches, access servers, equipment for mobile telephony, cable operators´ equipment and fixed wireless equipment. With these services being made available in Bulgaria, the initial outlay of a large capital investment and operating costs is a lot less than in many other economies. With these needs Gate2Shop, Microsoft, Siemens are just a few of the companies that have taken advantage of the resources available in Bulgaria. These companies have hired from the vast talent pool here and made the best of the growth in this part of the world.

Thursday, October 2, 2008

Industrial Complex

Pada waktu saya melihat PIER, SIER (Industrial Estate) complex, saya sudah sangat tercengang-cengang. Banyak perusahaan asing (terutama di PIER), dan tata letak industri yang berdasarkan kawasan /zona (kawasan berikat, kawasan industri asing, kawasan industri lokal, dll.) sepertinya sudah wah banget. (PIER = Pasuruan Industrial Estate Rembang , SIER = Surabaya Industrial Estate Rungkut)

Tetapi, ketika melihat perkembangan di luar negeri (berdasarkan pengamatan di Korea Selatan), ternyata kawasan industri disini lebih heboh lagi. Bukan lagi zona berdasarkan kawasan, tetapi sudah ibarat sebuah kota tersendiri. BJFEZ (Busan - Jinhae Free Economic Zone), sebuah daerah baru yang di-proposed oleh pemerintah Korea Selatan sebagai salah satu kawasan industri elit di tahun 2020 (proyek mulai di proposed tahun 2003), merupakan sebuah kota impian di masa mendatang.

Berbeda dengan Toyota City di Jepang ataupun Hyundai city di Korea Selatan (yang hanya fokus pada produk mobil, kapal, dan manufaktur berat saja). Tetapi kawasan ini mulai menarik investor beragam industri, tetapi tetap masuk dalam zona-zona yang telah ditetapkan.. sehingga BJFEZ memberi nuansa tersendiri di bidang industri. Beberapa proyek awal yang telah dijalankan antaranya :
1. Pembuatan new port
2. Jalinan kerja-sama (Science Valley - seperti Silicon Valley) dengan Israel.
3. Perjanjian kerjasama antara Rusia, China dan Jepang dalam lalu lintas logistik laut. (5 port Rusia, 45 port China dan 60 port Jepang).

fasilitas yang direncanakan dalam sebuah kawasan ini adalah sbb:
1. New Port - Logistic, Distribution and Maritime affairs
2. International Business Town - International Business Town, Air Logistics, High-Tech & Manufacturing.
3. High Tech and Manufacturing Area - High-Tech, R&D, Busan Science and Industrial Park
4. Mechatronics, Education and Research Area - Mechatronics, High-tech, R&D and University
5. Tourism & Leisure Area - Marine Resort, Golf Court, Hotel, Logistic Complex

Belum lagi sebuah jembatan yang akan menghubungkan pulau Gadeok dan pulau Geoje, untuk memaksimalkan transportasi darat (sepanjang 8.2 km yang diperkirakan selesai 2010).

{selingan ... }
saya membayangkan proyek jembatan Suramadu yang sudah sejak lama dan akan diusahakan selesai pada Maret 2009. Dan, menurut berita, jembatan ini akan menjadi jembatan terpanjang se-Indonesia (5.4 Km) dimana jembatan ini menghubungkan pulau Jawa (pulau inti) dan pulau Madura. (proposal baru adalah jembatan yang menghubungkan Jawa-Sumatra sepanjang 29 km - tunggu aja tanggal mainnya).
Sedangkan, Busan (sebagai kota ke2 terbesar se-Korea Selatan) sudah memiliki jembatan yang berada di tengah laut, yang menjadi ikon kota Busan (Gwangan Bridge - bisa disearching di wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Gwangan_Bridge) yang memiliki panjang jalan 6.5 km dengan total panjang keseluruhan jembatan 7.4 km. Dan.. yang lebih menarik lagi adalah, jembatan ini hanya sebagai dekorasi kota dan jalan alternatif bagi kendaraan berat yang akan menuju ke pelabuhan (baca : untuk mengatasi kemacetan dalam kota). Artinya, saya dapat mengatakan bahwa jembatan ini bukan jembatan yang menghubungkan antar pulau, tetapi jembatan yang diwujudnyatakan untuk menjadi kebanggaan kota Busan. (tiap tahun ada acara kembang api selama 1 jam untuk merayakan peringatan konferensi APEC)
{lanjut lagi...}

Kota ini (Busan) menjadi sebuah contoh real paduan akademis dan praktis yang menjadi sebuah integrasi yang bisa diwujudnyatakan dan dirasakan oleh banyak orang, khususnya oleh para ahli Teknik Industri. Kota ini bisa menjadi alternatif studi bagi para alumni Teknik Industri, khususnya yang gemar belajar masalah logistik dan supply chain.

sekian ulasan dari Busan.

Tuesday, September 23, 2008

11 Orang Yang Mengubah Dunia Lewat Internet

11 Orang Yang Mengubah Dunia Lewat Internet

Beberapa pemasar Internet mungkin sesumbar pada Anda tentang penghasilan mereka dan tentang kerja keras mereka mencapai status demikian. Tapi sadarkah Anda bahwa ada lho segelintir orang yang berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan para pemasar Internet ini? Orang-orang ini dianggap sebagai penemu dari sebagian Internet! Tanpa 11 orang tersebut, internet diyakini tidak akan sepopuler sekarang.
Inilah mereka:

1&2. Larry Page dan Sergey Brin
Menemukan Google pada tahun 1998 ketika mereka baru berusia 24 tahun. Mulai di dalam garasi yang menjadi "kantor" pertama mereka, dua orang ini mengilhami ribuan anak muda untuk mencari uang online. Larry dan Sergey kemudian menciptakan perusahaan senilai satu multi milyar dollar yang mengguncangkan Internet.

3. Mark Zuckerberg

Mark Zuckerberg, mahasiswa universitas Harvard yang menemukan Facebook sebagai satu platform jaringan sosial bagi remaja di perguruan tinggi ketika dia baru berusia 19 tahun. Facebook kini merupakan situs web jaringan sosial terbesar kedua setelah MySpace. Facebook terus tumbuh hari demi hari, dengan jutaan pengguna baru yang terus mendaftar setiap bulan!

4&5. Steve Chen dan Chad Hurley Para pencipta dari situs web "berbagi video online", YouTube. Mereka mendirikan YouTube pada 2005 ketika Chad berusia 28 tahun dan Steve 27 tahun. YouTube kemudian diakuisisi oleh Google dengan nilai $1.65 milyar.

6&7. Jerry Yang dan David Filo Di tahun 1995 kedua orang ini menemukan Yahoo!, mesin pencari yang merupakan saingan terdekat Google. Jerry berusia 26 tahun dan David Filo 28 tahun ketika mereka menciptakan Yahoo!Kedua orang ini sekarang mungkin lagi hangat-hangatnya dibicarakan orang-orang, setelah Microsoft meluncurkan tawaran senilai US$44.6 milyar untuk mengambil alih Yahoo!

8. Matt Mullenweg
Matt Mullenweg baru berusia 19 tahun ketika ia menciptakan platform blogging yang kini dipakai dimana-mana. Ia mendirikan platform blogging WordPress pada tahun 2005, dan sejak itu blogosphere pun mulai berevolusi. Orang-orang mulai berpindah dari MovableType dan platform lainnya ke WordPress, karena platform baru ini memang mudah dipakai dan selalu diperbaharui dan terus meningkat.

9. Tom AndersonMenciptakan jaringan sosial #1 di dunia dengan lebih dari 100 juta pengguna, Tom Anderson mendirikan MySpace di tahun 2004 ketika ia baru berusia 23 tahun. Dia mungkin tidak sekaya Mark Zuckerberg, tapi ia tercatat sebagai pendiri dari jaringan sosial yang dipakai paling luas di Internet.

10. Pierre OmidyarPada tahun 1995 ketika ia baru berusia 28 tahun, Pierre Omidyar mendirikan eBay, lelangan online sedunia. Sejak itu, banyak orang-orang menghargai penemuannya, sehingga mendorong eBay menjadi platform dunia.

11. Blake RossPada tahun 2003, Blake Ross mendirikan Mozilla ketika dia baru berusia 19 tahun. Sejak itu, Mozilla tumbuh sangat pesat, menggoda pengguna Internet untuk memakai penjelajah Firefox Mozilla mereka sendiri, yang terbukti memang lebih mudah dioperasikan dibandingkan kebanyakan aplikasi penjelajah web lainnya.

Sunday, August 3, 2008

Fokus pada proses - masa depan ada disana

Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering The Corporation)

Tak satu pun perusahaan di Amerika yang manajemennya tidak mengatakan, paling tidak untuk konsumsi publik, bahwa mereka butuh suatu organisasi yang cukup fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan kondisi-kondisi pasar, berani bersaing dengan harga pesaing, inovatif dalam menjaga produk-produk dan servisnya dengan teknologi terbaru, dan cukup handal dalam memberikan kualitas dan servis pelanggan yang maksimum.
Maka, jika manajemen-manajemen menginginkan perusahaan perusahaan yang ramping, gesit, fleksibel, responsif, kompetitif, inovatif, efisien ,mengutamakan konsumen, dan menguntungkan, mengapa begitu banyak perusahaan Amerika yang gemuk, lamban, kaku, melempem, tidak kompetitif, tidak kreatif, tidak efisien, meremehkan kebutuhan pelanggan dan tidak menguntungkan?

jawabannya terletak pada bagaimana perusahaan-perusahaan ini menjalankan tugas mereka dan mengapa mereka melakukannya seperti itu. Beberapa contoh berikut mengilustrasikan hal-hal yang menyebabkan kinerja perusahaan sering jauh berbeda dari hasil-hasil yang diharapkan para pimpinan mereka. Sebuah pabrik yang pernah kami kunjungi, seperti banyak perusahaan lain, menentukan sebuah sasaran untuk memenuhi pesanan-pesanan pelanggan dengan cepat, tetapi sasaran ini ternyata sulit dipahami. Seperti kebanyakan perusahaan dalam industrinya, perusahaan ini menggunakan sistem distribusi bertingkat banyak. Yaitu, pabrik mengirimkan barang-barang jadi ke sebuah gudang pusat, Pusat Distribusi Sentral (CDC-Central Distribution Center). Kemudian CDC mengirim produk-produk tersebut ke Pusat-pusat Distribusi Regional (RDC-Regional Distribution Center), gudang-gudang yang lebih kecil yang menerima dan memenuhi pesanan-pesanan pelanggan. Salah satu dariRDC-RDC ini mengurusi daerah di mana CDC berada. Kenyataannya, keduanya menempati bangunan yang sama.

Kadang dan tidak dapat dielakan RDC tidak mempunyai barang-barang Yang diperlukan untuk memenuhi pesanan pelanggan. Meskipun demikian, RDC khusus ini dapat mengambil produk-produk yang tidak tersedia itu dengan cepat dari CDC yang berlokasi di seberang gedung, tetapi bukan itu yang mereka lakukan. Itulah mengapa meski untuk pesanan yangmendesak/kilat, prosesnya memakan waktu sebelas hari: satu hari untuk memberi tahu CDC barang-barang apa yang dibutuhkan RDC, lima hari diperlukan CDC untuk memeriksa, memuat dan mengirimkan pesanan; dan lima hari diperlukan RDC untuk menerima secara resmi dan mengatur barang-barang tersebut dan kemudian mengangkut dan mengemas pesanan-pesanan tersebut. Salah satu alasan mengapa proses ini begitu lama adalah bahwa RDC-RDCdinilai dengan jumlah waktu yang mereka perlukan untuk merespons pesanan-pesanan pelanggan, sedangkan CDC tidak.

Kinerja mereka dinilai berdasarkan faktor-faktor lain: biaya persediaan, siklus persediaan, dan biaya tenaga kerja. Tergesa-gesa memenuhi banjir pesanan RDC-RDC akan merugikan angka kinerja CDC itu sendiri. Akibatnya, RDC bahkan tidak berusaha untukmendapatkan barang-barang yang harus segera tersedia dari CDC yang berlokasi di dekatnya. Malahan, ia meminta kiriman barang lewat udara dari RDC lain. Biayanya? Rekening pengangkutan udara saja mencapai jutaan dolar pertahun; tiap RDC mempunyai sebuah unit yang tidak melakukan apa-apa selain bekerjasama dengan RDC-RDC lain mencari barang-barang; dan barang-barang yang sama lebih sering dipindah dan diserahterimakan daripada yang seharusnya. RDC-RDC dan CDC semuanya melaksanakan tugas, tetapi secara keseluruhan sistem tersebut tidak berhasil. Contoh kasus diatas mengilhami sebagian besar perusahaan-perusahaan Amerika untuk me-reengineering perusahaannya dalam mengejar ketertinggalannya dari perusahaan-perusahaan Jepang.

Sumber : Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering The Corporation)Michael Hammer & James Champy

Monday, June 9, 2008

9 Sektor manufaktur berpotensi merugi

Dengan melihat kondisi perekonomian di tengah gejolak kenaikan harga BBM, maka tidak ada hal yang mudah untuk dikerjakan di Indonesia, dan juga di luar negeri. Hal ini memicu banyak permasalahan ekonomi dan juga tingkat hidup industri Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku industri akan merger atau bahkan akhirnya bangkrut karena tidak mampu menekan biaya yang berlebihan akibat biaya energi.

Sudah saatnya, para pakar Teknik Industri mengambil bagian dalam meningkatkan efisiensi industri di Indonesia, mengoptimasi sistem industri untuk menyelamatkan neraca keuangan dari sistem yang kurang optimal dan kurang efisien. Tetapi bagaimana caranya ? Setiap industri pasti memiliki caranya masing2. Sebelum kita berdiskusi cara yang baik, mari kita cermati sektor industri yang diperkirakan akan merugi akibat kenaikan harga minyak dunia.

============================
Importasi produk industri melonjak

Sembilan sektor manufaktur berpotensi merugi

JAKARTA: Peningkatan impor produk manufaktur-baik berupa bahan baku industri yang lebih hilir maupun produk jadi-mulai membuat cemas kalangan industri di dalam negeri karena berpotensi memicu kerugian.

Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Halida Miljani mengatakan terdapat sedikitnya sembilan sektor industri yang berpotensi dirugikan oleh peningkatan impor produk sejenis.

Kesembilan sektor itu adalah industri semen, kertas, baja (profil, pipa, dan kawat), tekstil dan produk tekstil (TPT), sektor kimia hilir seperti monosodium glutamate (MSG) dan asam sitrat, dan sorbitol, industri farmasi, kaca, ban, dan sektor makanan (terigu).

Sepanjang empat tahun terakhir, importasi produk tersebut menunjukkan tren meningkat di 12 wilayah yang mencakup Jatim, Jabar, Banten, Sumut, Lampung, Sulsel, NTB, Sumsel, Yogyakarta, Kalsel, Jateng, dan Kaltim.

"Itu merupakan daerah-daerah yang rentan terhadap persaingan dengan produk impor dan praktik dumping. Daerah-daerah tersebut sebenarnya justru menghasilkan berbagai produk potensial serupa," kata Halida yang juga Ketua Komite Antidumping Indonesia (KADI), pekan lalu.

KPPI mengamati setidaknya ada 14 produk yang impornya melonjak dalam empat tahun terakhir di antaranya semen, tepung terigu, baja profil, ban mobil, ampicilin, sodium silicate, float glass, polyethylene terephthalate, kawat baja, pipa baja, tin plate, coated paper, maleic anhydride dan asam sirat.

"Ancaman terjadinya pelemahan pasar dan pemangkasan produksi itu bahkan kian mengkhawatirkan menyusul terjadinya ketidakstabilan makroekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM yang mendongkrak kenaikan biaya distribusi, sehingga inflasi ikut melambung akibat pelemahan daya beli konsumen," ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini pengenaan sanksi safeguard baru diterapkan pada produk keramik pecah belah (tableware). Saat ini, KPPI masih menyelidiki permohonan safeguard untuk produk dextrose monohydrate/ DMH (bahan pemanis makanan, minuman dan obat) yang impornya diduga telah menguasai 75% pasar Indonesia.

Data BPS

Berdasarkan analisa KPPI terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS), lonjakan impor paling kecil terjadi pada terigu yaitu dari 343.144,9 ton pada 2003 menjadi 536.961,6 ton pada 2006 atau meningkat 19%.

Lonjakan impor terbesar terjadi pada semen yaitu jenis semen portland dari 31.734,7 ton pada 2003 menjadi 886.800,2 ton pada 2006 dan jenis semen lain yang impornya naik dari 280.800 ton pada 2003 menjadi 314.009,1 ton pada 2006.

Kenaikan volume impor yang sangat besar, lanjutnya, dapat mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri jika barang tersebut diimpor dengan harga dumping (harga jual untuk ekspor lebih murah dibandingkan dengan harga jual di negara pengekspor).

Kendati demikian, katanya, KADI belum menemukan adanya praktik dumping atas tren lonjakan impor di beberapa produk manufaktur itu. "Meskipun tidak terbukti, industri dalam negeri tetap dapat meminta pengenaan safeguard [pengamanan perdagangan] jika dirasa mengalami kerugian akibat membanjirnya produk impor serupa," katanya. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati - Bisnis Indonesia

Thursday, June 5, 2008

It is one of efficiency for the raising oil price - what do you think?

NEW YORK (Reuters) - Continental Airlines Inc (CAL.N) said on Thursday it would cut 3,000 jobs, or about 6.5 percent of its work force, and retire 67 older planes as it scales down in the face of soaring fuel prices.

The No. 4 carrier is the latest of the major U.S. airlines to announce large cutbacks as they grapple with unprecedented oil prices. On Tuesday, UAL Corp's (UAUA.O) United Airlines announced plans to slash jobs and flights, following a similar move by AMR Corp's (AMR.N) American Airlines last month.

"The airline industry is in a crisis. Its business model doesn't work with the current price of fuel and the existing level of capacity in the marketplace. We need to make changes in response," Larry Kellner, Continental's chief executive, and Jeff Smisek, its president, wrote in a letter to Continental employees released on Thursday.

Crude oil futures crested at $135 a barrel last month -- more than twice the price of a year ago -- sending the cost of jet fuel up sharply.
To counter its higher fuel bill, Continental said it would cut 3,000 of its 45,000 staff, and retire 67 older single-aisle Boeing (BA.N) 737 planes by the end of 2009, on top of the six planes it has already pulled out of service this year.

The airline said it would replace some of those jets with deliveries of new, more fuel-efficient 737s. Its mainline fleet of about 375 planes would shrink to about 344 by the end of next year, an overall cut of about 8 percent.

It said it would cut flights after the summer season, reducing domestic capacity -- or the number of seats for sale on U.S. flights -- by about 11 percent in the fourth quarter.
Continental plans to cut domestic flights about 16 percent in the fourth quarter, over the year before, but said it would not announce which destinations will be hit until late next week.
It said it would provide more details on the job cuts next week after discussing them with employees. The airline hopes most of the cuts will be voluntary.

The reductions will take effect after the peak summer season, Continental said, although some management and clerical jobs will be cut sooner.
Continental's shares, which have fallen 35 percent so far this year as surging oil prices have ravaged the industry, rose about 3 percent to $15 in premarket trading, from their close at $14.50 on the New York Stock Exchange on Wednesday. (source: yahoo.com)

Tuesday, June 3, 2008

Seven eleven - Japan - Story

SEVEN-ELEVEN JAPAN CO.

Established in 1973, Seven-Eleven Japan set up its first store in May1974, in Koto-ku,Tokyo.

The company was first listed on the Tokyo Stock Exchange in October 1979. It is owned by the Ito-Yokado group which also manages a chain of supermarkets in Japan and owns a majority share in South land, the company managing Seven-Eleven in the US. The last ten years have been a period of phenomenal growth for Seven-Eleven Japan. Between 1985 and 1994, the number of stores increased from 2,299 to 5,523; sales increased from 386 billion Yen to 1,282 billion Yen; Net income increased from 9 billion Yen to 46 billion Yen.

In 1994, Seven-Eleven Japan ranked first among Japanese retailers in terms of ordinary profit. The return on equity (ROE) has averaged well over 20% over the last ten years. Seven-Eleven Japan is currently Japan's largest retailer in terms of operating income and number of stores. In 1994, customer visits to Seven-Eleven outlets totaled 1.8 billion,which translates to every person in Japan visiting a Seven-Eleven on average 15 times a year!

Company History and Profile

Both Ito-Yokado and Seven-Eleven Japan were founded by Mr. Masatoshi Ito. He started his retail empire after the second world war, when he joined his mother and elder brother to work in a small clothing store in Tokyo. By 1960 he was in sole control and the single store had grown into a $3 million company. After a trip to the US in 1961, Ito became convinced that superstores were the wave of the future.

At that time Japan was still dominated by Mom and Popstores. Ito's chain of superstores in the Tokyo area was instantly popular and still constitutesthe core of Ito-Yokado's retail operations. In 1972, Ito first approached the Southland Corporation about the possibility of opening Seven-Eleven convenience stores in Japan. After rejecting his initial request,Southland agreed to a licensing agreement in 1973. In exchange for 0.6% of total sales, Southland gave Ito exclusive rights throughout Japan.

In May 1974, the first Seven-Eleven convenience store opened in Tokyo. This new concept was an instant hit in Japan and experienced tremendous growth. By 1979 there were already 519 Seven-Eleven stores in Japan. By 1984 there were 2001 stores. Rapid growth has continued since then as detailed in Table 1, resulting in 5,523 stores by the end of 1994.

On October 24, 1990, the Southland Corporation entered into bankruptcy protection. Southland asked for Ito-Yokado's help and on March 5, 1991, IYG Holding was formed bySeven-Eleven Japan (48%) and Ito-Yokado (52%). IYG acquired 70% of Southland's common stock for a total price of $430 million.

Financial data for the different segments of the Ito-Yokado group demonstrates why Seven-Eleven Japan is worth a detailed study. Even though it contributes under 7% to thegroup's revenues from operations, it contributes over 47% of the group's operating income.

Over the last ten years, Seven Eleven Japan's revenue has grown on average by 12.6% annually and its net income has grown by 20.9% annually. Seven-Eleven Japan has managed to improve its return on sales (RoS) from 11.7% in 1984 to 25% in 1992. Over the last two years,the RoS has decreased somewhat to 23.8 % due to the economic recession in Japan.

Based on its annual sales, Seven-Eleven Japan is the third largest retailer in Japan. However, measured by ordinary profits, Seven-Eleven Japan is the largest retailer in Japan, even larger than its parent company, Ito-Yokado itself. With its 5,523 stores, Seven-Eleven is the largest convenience store chain in Japan. It is closely followed by Daiei CVS with 5,045 stores.

The Convenience Store Industry and 7-Eleven

As in the US, convenience stores in Japan provide customers with a variety of products carried by general retailers as well as food retailers. As of 1991, the retail structure was as shown below. While it is a small part of the overall retail outlets, Seven-Eleven Japan is a significant part of the convenience store outlets. It's share of this market has in fact grown since1991. This growth has been very carefully planned exploiting the core strengths that Seven-Eleven Japan has developed in theareas of Information systems and Distribution systems.

The Seven-Eleven Franchise System

Seven-Eleven has developed an extensive Franchise network and plays a keyrole in the daily operations of this network. The Seven-Eleven network consists of both company owned stores and third party owned franchises. In 1994 the percentage of company owned stores was 29.2%. To ensure efficiency, Seven-Eleven Japan's fundamental network expansion policy is based upon a market dominance strategy.

Entry into any new market is built around a cluster of 50 to 60 stores. Such clustering gives Seven-Eleven a high density market presence and allows itto operate an efficient distribution system. Seven-Eleven, in its annual report, lists th efollowing as advantages of the market-dominance strategy:

1. Boosts distribution efficiency.
2. Improves brand awareness.
3. Increases system efficiency.
4. Enhances the efficiency of franchise support services.
5. Improves advertising effectiveness.
6. Prevents competitors entrance into the dominant area.

Adhering to their dominant strategy, Seven-Eleven opened the majority of the 417 new stores in areas with existing clusters of stores. However, geographically Seven-Eleven Japan has a limited presence.They have stores in less than half (21 out of 47) the prefectures within Japan. However within prefectures where they are present, stores tend to be dense. The distribution of Seven-Eleven stores within Japan is contained in Figure 2.

Less than 1 out of 100 applicants is awarded a franchise (a testament totheir profitability) .The franchise owner is required to put 3 million Yen up front. Half of this amount is used for preparation of the store and training of the owner. The rest is used for purchasing the initial stock for the store. Seven-Eleven has an active ongoing relationship with the franchises.

Fortyfive percent of total gross profits at a store go to Seven-Eleven with the rest going to the store owner. The responsibilities of the two are as follows:Seven-Eleven Japan responsibilities:

1. Development of supply and merchandise.
2. Providing the ordering system.
3. Cost of system operation.
4. Accounting.
5. Advertising.
6. Installation and remodeling of facilities.
7. 80% of utility costs.

Franchise owner responsibilities:
1. Operation and management of store.
2. Hiring and paying staff.
3. Ordering.
4. Maintaining store appearance.
5. Customer service.

Source :SEVEN-ELEVEN JAPAN CO.
Kellogg Kellogg Graduate School of Management, Northwestern UniversityOperations Logistics and Supply Chain Management

Monday, May 26, 2008

Angsa Itu Mulai Beranak Elang - Kairetsu

Angsa Itu Mulai Beranak Elang

Kairetsu yang dapat diartikan sebagai Perkongsian ini sebenarnya merupakan strategi Jepang dalam berbisnis automotif di seluruh dunia. Caranya adalah para perusahaan besar automotive memiliki share diperusahaan-perusahaan lain yang merupakan groupnya, misal Toyota Group, ada Toyota Motor Company, Toyota Tsusho Indonesia, Toyota Engineering dll.

Perusahaan besar Jepang tersebut kemudian bekerjasama dengan banyak perusahaan local di seluruh dunia untuk produksi komponen, stamping, hingga perakitan but mostly dengan raw material adalah imported dari steel mills Jepang seperti Nippon Steel, Kawasaki Steel yang notabene steel producer ini juga memiliki share di Toyota Group. Disinilah letak "Keiretsu" nya Jepang, mereka akan tetap menomorsatukan raw material yang berasal dari group mereka sehingga perekonomian mereka tetap bergerak. Komposisi Krakatau Steel sebagai local content hanyalah sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kita cukup kebablasan dengan di ambil alihnya kepemilikan saham astra di TAM oleh Toyota Motor Company Jepang untuk kemudian berganti nama menjadi TMMC, Toyota Motor Manufacturing Company. Akibat dari hal ini secara financial adalah retain earning perusahaan lari ke Jepang semuanya, secara moral pekerja Indsonesia seperti menjadi tamu di negeri sendiri dan secara operasional peningkatan local content Krakatau Steel yang diperjuangkan Astra tidak lagi terdengar.Morale of the story adalah peraturan pemerintah yang memberikan kebebasan perusahaaan asing untuk memiliki 100% saham di Indonesia telah menjadi bumerang. Steel producer Indonesia yang seharusnya bisa memberikan kontribusi lebih kepada industri otomotif Indonesia tidak berjalan mulus, padahal bila menggunakan material Krakatau Steel kita terhindar dari import duty yang tinggi sehingga harga mobil tidakperlu seperti sekarang ini.

Secara resmi zaibatsu (financial cliques) yang melahirkan keiretsu (corporate groups), memang pernah dilarang saat Jepang diduduki oleh Amerika Serikat. Namun ketika kekuatan ekonomi Jepang mulai membaik sekitar tahun1960-an-1970- an, zaibatsu bangkit lagi. Dunia bisnis Jepang kembali membuat pengelompokan seperti yang pernah ada pada masa sebelum perang. Namun berbeda dengan zaibatsu yang lebih jelas, keiretsu bersifat agak samar-samar. Selama ini, para perencana ekonomi atau badan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang, sepertinya tidak pernah memeriksa berapa jumlah perusahaan yang mendukung, perusahaan besar Jepang untuk menghasilkan sebuah produk. Bila penelitian ini pernah dilakukan, tidak mustahil sejak awal mereka bisa mengetahui bahwa alih teknologi dari Jepang tidak akan pernah terjadi. Mereka akan sadar bahwa pemindahan kegiatan industri Jepang ke negara-negara berkembang, tak lebih hanyalah sekadar penyewaan lokasi untuk pabrik dan tenaga buruh, terutama sehubungan dengan yendaka.

Gambaran lebih gampang bagaimana cara melihat bentuk keiretsu ini beroperasi, dapat dilihat jelas dari geliatan bisnis Jepang yang ada di industri otomotif dan elektronik, yang memiliki ratusan sampai ribuan mata rantai perusahaan. Dari situ akan terlihat bagaimana imposible-nya negara-negara berkembang melakukan alih teknologi tersebut. Gampangnya, ada satu negara berkembang ingin melakukan alih teknologi elektronika TV atau mobil, maka negara ini tak cukup hanya membawa satu perusahaan saja untuk masuk ke negaranya dan kemudian bisa terjadi alih teknologi. Tetapi harus membawa ratusan atau ribuan perusahaan yang tersubordinasi atau yang menjadi pendukung perusahaan utama tersebut.

* * *PERTANYAAN besarnya, apakah mungkin pemindahan atau pembuatan semacam duplikat dari mata rantai perusahaan-perusahaan sebanyak itu. Ini baru satu persoalan saja, yakni pemindahan perusahaan saja, belum termasuk alih teknologi. Dalam kasus Toyota misalnya, sebuah studi menyebutkan bahwa lapisan atas struktur organisasi piramida Toyota, tersusun oleh 10 perusahaan sub kontraktor utama. Di luar ini ada dua lagi perusahaan lain, tapi tidak berkaitan dengan kegiatan manufakturing. Total perusahaan pada lapisan atas berjumlah 12 unit. Namun jumlah tersebut masih di tambah lagi oleh dua perusahaan, yang dalam kesan umum sering dirasakan sebagai saingan Toyota di pasaran mobil, yakni Daihatsu Motors dan Hino Motors yang dikonsentrasikan pada truk.

Pada lapisan menengah piramida itu terdapat pula dua grup pembuat komponen. Masing-masing adalah kyoho-kai (Toyota cooperative association) , yang terdiri dari 183 perusahaan dan kemudian Eiho-kai (Toyota ProsperityAssociation) , yang terdiri dari 65 perusahaan. Totalnya 248 perusahaan, ini baru perusahaan yang nampak dalam keiretsu Toyota.

Di bawah perusahaan-perusahaan ini masih terdapat pula beberapa angkatan perusahaan dalam urutan hirarki, yang masing-masing terdiri pula dari ratusan perusahaan. Namun berapa pastinya jumlah perusahaan yang ada dalam jaringan keiretsu Toyota, barangkali hanya Toyota sendiri yang tahu. Semua ini memang hanyalah gambaran yang tidak sepenuhnya utuh, namun minimal mendekati kebenaran mengenai otomotif Toyota. Sebab di luar gambaran ini masih ada pula jaringan distribusi yang mencapai 4.750 perusahaan.

Seperti yang ada dalam bayangan orang pada umumnya, sekadar untuk membuat kaca spion saja, perusahaan-perusahaan industri mobil Jepang memerlukan tiga atau empat perusahaan kecil. Perusahaan terakhir melakukan tugas untuk merakit hingga menjadi spion. Keempat perusahaan ini tak mungkin sendiri, karena satu sama lain merupakan dari rangkaian sistem.

Ciri semacam ini bukan khas dominasi dari Toyota, tetapi merupakan khas dari seluruh perusahaan besar di Jepang. Matsushita misalnya, memiliki rantai 160 perusahaan, yang masing-masing perusahaan memiliki lagi mata rantai kecil hingga yang paling kecil yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian juga dengan Sony, Hitachi, dan Mitsubishi, semua mengikuti pola seperti itu.

Sebuah contoh konkret tentang berlakunya aturan main tersebut adalah, soal terbakarnya pabrik rem milik Toyota di Perfektur Aichi beberapa bulan lalu. Akibat tidak mungkinnya Toyota memperoleh suplai dari luar jaringannya, maka perusahaan ini harus menghentikan produksi beberapa hari. Akibatnya Toyota menderita kerugian milyaran yen, karena harus menunggu salah satu pensuplai dari lingkungan sendiri memproduksi komponen rem yang diperlukan.* *

*KEMBALI dalam hubungan antara Jepang dan mitra dagangnya selama ini, jelas terlihat bahwa pengejaran oleh angsa yang berada di belakang dalam kawanan angsa menurut flying geese model jelas tidak akan pernah terjadi. Ini belum lagi jika faktor-faktor lain ikut diperhitungkan sebagai misal, sikap perusahaan-perusahaan Jepang yang ada kalanya, jelas-jelas menghalangi negara berkembang untuk melangkah sendiri atau menyalahi garis yangditetapkan.

Kasus pengembangan teknologi Mazda tua yang berhasil dilakukan KIA dari Korsel pada pertengahan tahun 1980-an yang akhirnya menimbulkan kekecewaan KIA, karena Mazda menolak memberi restu atas teknologi tersebut. Masih dalam konteks Korsel, dalam industri semi konduktor, sering kali dikatakan koran bahwa Korsel telah mengalahkan Jepang.

Tapi di luar cerita di koran-koran, ilmuwan Korsel sendiri mengeluh bahwa akibat ketergantungan pada Jepang, total hasil keuntungan dari penjualan semi konduktor tersebut ternyata lebih besar dikantungi Jepang beberapa kali lipat daripada Korsel-nya sendiri.

Barangkali ketidakpuasan yang kini mulai timbul di negara-negara mitra Jepang di Asia, terutama sekali dalam hal alih teknologi, apakah tidak mungkin bahwa industri yang ada di negara berkembang tersebut adalah jaringan keiretsu Jepang. Kalau perkiraan ini salah, pertanyaan yang timbul selanjutnya, melihat dasar dan rumitnya jaringan keiretsu, serta aturan atau komitmen-komitmen yang dipegang teguh para anggota, tampaknya hampir mustahil bagi negara berkembang untuk bisa tumbuh menjadi kekuatan industri yang mandiri.Kalau hanya sekadar dilihat dari sisi menumbuhkan lapangan kerja baru,barangkali kehadiran perusahaan Jepang bisa dianggap bermanfaat. Sisi lainnya hanya sekadar untuk memperoleh wahana latihan dalam sistem industri modern, walau hanya sepotong-sepotong.

Jadi sangat keliru jika hubungan bisnis yang terjalin melalui investasi Jepang di Indonesia selama ini, merupakan rumus efektif untuk memaksa Jepang melakukan alih teknologi. Setelah proses itu terjadi, kemudian negara berkembang itu sendiri menjalankan berbagai proses produksi dari awal hingga akhir. Padahal dalam sistem keiretsu, ibaratnya semua itu tak lebih hanyalah tangan perusahaan Jepang yang ada di negara berkembang, dari ribuan tangan yang mengenggam kepingan teknologi dari produk yang dihasilkannya.

Proses tak terjadinya alih teknologi dalam industri otomotif nasional, sekali pun telah bermitra seperempat abad dengan Jepang, tidak perlu ditanggapi sebagai kekecewaan. Masalah itu sebenarnya sudah harus disadari sejak awal, bahwa hal itu memang tidak mungkin pernah terjadi. Kita telah kehilangan waktu sekitar seperempat abad, karena ketidakjelian lembaga terkait dalam membaca "nafas bisnis" Jepang yang sesungguhnya yang tetap berobsesi ingin menjadi saudara tua, cahaya dan pelindung bagi Asia.

Bila ingin menguasai teknologi dan akhirnya menjadi mandiri, Indonesia mungkin bukan harus menjadi angsa yang adem dan terbang lembut di belakang dalam formasi huruf "V" terbalik itu. Melainkan harus berubah menjadi elang yang tangguh. Namun untuk menjadi elang yang tangguh harus ada kepastian hukum, permainan yang adil dan kompetitif, tidak membuang peluang, menjaga kewibawaan, performance yang bagus, kesungguhan, serius, dan tidak menganggap segala sesuatunya sebagai barang mainan sesaat.Tetapi harus dilihat sebagai sesuatu peluang besar untuk membawa bangsa ini menjadi mandiri, karena waktu, tenaga, dana dan kehormatan yang dipertaruhkan untuk menjadi elang itu sudah terlalu besar dikeluarkan.

Kalau semua pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat ini tak diimbangi dengan kemampuan yang maksimal, bukan saja si induk angsa beserta rangkaiannya yang menghantamnya, tetapi juga kolega angsa itu ikut menghantamnya. (Banu Astono/ Yusron Ihza)

Sumber : Kompas