Monday, June 9, 2008

9 Sektor manufaktur berpotensi merugi

Dengan melihat kondisi perekonomian di tengah gejolak kenaikan harga BBM, maka tidak ada hal yang mudah untuk dikerjakan di Indonesia, dan juga di luar negeri. Hal ini memicu banyak permasalahan ekonomi dan juga tingkat hidup industri Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku industri akan merger atau bahkan akhirnya bangkrut karena tidak mampu menekan biaya yang berlebihan akibat biaya energi.

Sudah saatnya, para pakar Teknik Industri mengambil bagian dalam meningkatkan efisiensi industri di Indonesia, mengoptimasi sistem industri untuk menyelamatkan neraca keuangan dari sistem yang kurang optimal dan kurang efisien. Tetapi bagaimana caranya ? Setiap industri pasti memiliki caranya masing2. Sebelum kita berdiskusi cara yang baik, mari kita cermati sektor industri yang diperkirakan akan merugi akibat kenaikan harga minyak dunia.

============================
Importasi produk industri melonjak

Sembilan sektor manufaktur berpotensi merugi

JAKARTA: Peningkatan impor produk manufaktur-baik berupa bahan baku industri yang lebih hilir maupun produk jadi-mulai membuat cemas kalangan industri di dalam negeri karena berpotensi memicu kerugian.

Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Halida Miljani mengatakan terdapat sedikitnya sembilan sektor industri yang berpotensi dirugikan oleh peningkatan impor produk sejenis.

Kesembilan sektor itu adalah industri semen, kertas, baja (profil, pipa, dan kawat), tekstil dan produk tekstil (TPT), sektor kimia hilir seperti monosodium glutamate (MSG) dan asam sitrat, dan sorbitol, industri farmasi, kaca, ban, dan sektor makanan (terigu).

Sepanjang empat tahun terakhir, importasi produk tersebut menunjukkan tren meningkat di 12 wilayah yang mencakup Jatim, Jabar, Banten, Sumut, Lampung, Sulsel, NTB, Sumsel, Yogyakarta, Kalsel, Jateng, dan Kaltim.

"Itu merupakan daerah-daerah yang rentan terhadap persaingan dengan produk impor dan praktik dumping. Daerah-daerah tersebut sebenarnya justru menghasilkan berbagai produk potensial serupa," kata Halida yang juga Ketua Komite Antidumping Indonesia (KADI), pekan lalu.

KPPI mengamati setidaknya ada 14 produk yang impornya melonjak dalam empat tahun terakhir di antaranya semen, tepung terigu, baja profil, ban mobil, ampicilin, sodium silicate, float glass, polyethylene terephthalate, kawat baja, pipa baja, tin plate, coated paper, maleic anhydride dan asam sirat.

"Ancaman terjadinya pelemahan pasar dan pemangkasan produksi itu bahkan kian mengkhawatirkan menyusul terjadinya ketidakstabilan makroekonomi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM yang mendongkrak kenaikan biaya distribusi, sehingga inflasi ikut melambung akibat pelemahan daya beli konsumen," ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini pengenaan sanksi safeguard baru diterapkan pada produk keramik pecah belah (tableware). Saat ini, KPPI masih menyelidiki permohonan safeguard untuk produk dextrose monohydrate/ DMH (bahan pemanis makanan, minuman dan obat) yang impornya diduga telah menguasai 75% pasar Indonesia.

Data BPS

Berdasarkan analisa KPPI terhadap data Badan Pusat Statistik (BPS), lonjakan impor paling kecil terjadi pada terigu yaitu dari 343.144,9 ton pada 2003 menjadi 536.961,6 ton pada 2006 atau meningkat 19%.

Lonjakan impor terbesar terjadi pada semen yaitu jenis semen portland dari 31.734,7 ton pada 2003 menjadi 886.800,2 ton pada 2006 dan jenis semen lain yang impornya naik dari 280.800 ton pada 2003 menjadi 314.009,1 ton pada 2006.

Kenaikan volume impor yang sangat besar, lanjutnya, dapat mengakibatkan kerugian bagi industri dalam negeri jika barang tersebut diimpor dengan harga dumping (harga jual untuk ekspor lebih murah dibandingkan dengan harga jual di negara pengekspor).

Kendati demikian, katanya, KADI belum menemukan adanya praktik dumping atas tren lonjakan impor di beberapa produk manufaktur itu. "Meskipun tidak terbukti, industri dalam negeri tetap dapat meminta pengenaan safeguard [pengamanan perdagangan] jika dirasa mengalami kerugian akibat membanjirnya produk impor serupa," katanya. (yusuf.waluyo@bisnis.co.id)

Oleh Yusuf Waluyo Jati - Bisnis Indonesia

No comments: