Thursday, June 19, 2008

Pentingnya belajar regulasi - contoh kasus Industri Kemasan

Salah satu cara mengurangi biaya produksi adalah memperbanyak komponen lokal. Namun, apakah yang terjadi apabila lokal tidak menyediakan komponen yang dibutuhkan ?
Hal inilah yang dialami oleh industri makanan dan minuman pada umumnya. Mayoritas kemasan yang digunakan oleh industri minuman kemasan (susu dan jus) adalah produk import yang tidak memiliki pabrik di Indonesia. Alhasil, pabrik proses pengisian yang di Indonesia harus menambah biaya impor pada komponen kemasan. (lihat artikel di bawah ini)

Oleh karena itu, regulasi industri harus ditegakkan terlebih dahulu sebelum pengambilan keputusan teknis dilakukan. Sebaik apapun algoritma optimasi industri yang dilakukan, apabila regulasi industri masih belum mendukung, maka optimasi di lini produksi tidak akan pernah terealisasi hingga angka optimal.

Sebagai seorang ahli teknik industri, ada baiknya kita mengetahui regulasi yang ada saat ini, untuk memberikan inspirasi mengenai optimasi di dunia industri yang sesungguhnya (contoh : meningkatkan produktivitas dengan mengubah regulasi tenaga kerja selain mengatur penjadualan waktu kerja pegawai, mereduksi waktu lead time dengan mengatur regulasi [baca=retribusi] transportasi di jalur arteri selain mengatur rute terpendek transportasi, dsb.).



===================================
Kemasan Impor Dominan

JAKARTA - Industri kemasan di Indonesia untuk produksi skala besar masih didominasi asing. Sebab, untuk beberapa produk tertentu, produsen lebih suka mengimpor bahan kemasan daripada menggunakan hasil produksi nasional.Chief Marketing Director FGD Herman Pratomo menyatakan produsen minuman kemasan, seperti susu dan jus, lebih memilih impor kemasan karton. Sebab, dua produsen utama kemasan karton, yakni Tetra Pak dan Combipack, tidak memiliki pabrik di Indonesia. ''Mereka mengimpor kemasan karton dan di Indonesia hanya proses pengisian,'' ujanya saat pameran East Design & Graphic Expo (EDGE) 2008 kemarin (18/6). Akibatnya, kata dia, harga produk-produk tersebut lebih mahal. ''Biasanya biaya pengepakan hanyalah 10 persen. Biaya kemasan karton dari dua produsen itu bisa lebih tinggi,'' katanya. Konsekuensinya, kata dia, konsumen yang harus membayar lebih mahal.Menurut dia, masalah ini bisa diselesaikan jika dua produsen itu membuka pabrik di Indonesia. ''Yang mencegah mereka masuk ke sini adalah kendala soal regulasi,'' tuturnya. Selain itu, lanjut dia, SDM andal juga menjadi kendala. Di sisi lain, industri pengepakan karton di tanah air belum berkembang pesat, terutama untuk produk-produk makanan dan minuman. Salah satunya adalah masalah teknologi. ''Rata-rata produsen pengepakan Indonesia memakai mesin dari Tiongkok. Harganya lebih ekonomis dibandingkan mesin dari Eropa atau Australia,'' paparnya. ''Padahal, produsen memilih merek Eropa karena terkait kepercayaan atas mutu dan marketing atau image.''


Sumber : Jawapos online, 19 Juni 2008

No comments: